Masyarakat
Multikultural merupakan istilah dari sebuah masyarakat yang memiliki beragam
budaya. J.S. Furnival menyatakan masyarakat multikultural merupakan masyarakat
yang terdiri atas dua atau lebih komunitas (kelompok) yang secara kultural dan
ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda-beda
satu sama lainnya. Masyarakat
multikultural di dalamnya terdiri dari perbedaan budaya, seperti ras, suku,
bahasa, adat istiadat, agama, dan perbedaan lainnya di masing-masing komunitas
(Azra, 2007:13) Menurut Susanto (2008), multikultural adalah suatu masyarakat
yang terdiri dari atas banyak struktur kebudayaan. Hal tersebut disebabkan
karena banyaknya suku bangsa yang memiliki struktur budaya sendiri yang berbeda
dengan budaya suku bangsa lainnya.
Munculnya konsep masyarakat multikultural,
memunculkan pula konsep tentang multikulturalisme. Multikulturalisme yang jika
dipisah secara etimologis berasal dari kata multi
yang berarti banyak, kultur yang
berarti budaya, dan isme yang berarti
paham. Secara harfiah multikulturalisme adalah paham tentang kemajemukan budaya
yang terdapat pada suatu daerah tertentu yang terdapat pengakuan akan martabat
manusia dari masing masing budaya yang berbeda dan unik (Mahfud, 2006:75). Menurut
Suparlan (2005:102) multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan
perbedaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya
pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Lebih jauh Tilaar
(2004:83) menyatakan bahwa multikulturalisme dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Pengertian
tradisional multikulturalisme yang disebut juga gelombang pertama aliran
multikulturalisme, mempunyai dua ciri utama, yaitu (1) kebetulan terhadap
pengakuan (the need recognition) dan (2) Legitimasi keragaman budaya
atau pluralism budaya
b. Multikulturalisme
baru mengandung hal-hal yang essensial di dalam perjuangan kelakuan budaya yang
berbeda (the other). Tahap perkembangan multikultural telah menampung
berbagai jenis pemikiran baru yaitu (1) pengaruh study cultural, (2)
poskolonialisme, (3) globalisasi, (4) feminisme dan postfeminisme, (5) teori
ekonomi politik neomarxisme, (6) poststrukturalisme.
Berdasarkan konsep
masyarakat multikultural dan multikulturalisme di atas, dapat terlihat bahwa
salah satu negara yang memiliki masyarakat yang multikultural adalah Indonesia.
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan sampai
puluhan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Setiap pulau yang ada
di Indonesia memiliki ragam masyakat yang berbeda beda baik dari segi budaya,
agama, dan suku. Letak geografis masing masing daerah Indonesia yang berbeda
beda menjadikan masing masing pulau memiliki karakteristik suku dan budaya
masing-masing. Tentunya dengan beragamnya suku, budaya, agama dan ras di
Indonesia ini hendaknya menjadikan masyarakatnya sadar bahwa keberagaman ini
tidak lantas dijadikan sebuah perseteruan yang bisa menyebabkan konflik. Semua
masyarakat Indonesia tanpa terkecuali haruslah mampu menerapkan paham
multikulturalisme sebagai dasar hubungan yang terjalin terhadap budaya satu
dengan budaya yang lainnya agar hubungan itu menjadi hubungan yang harmonis.
A. Sejarah Masyarakat Multikultural
Indonesia
Seperti telah di
jelaskan di awal bahwa masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri
dari berbagai macam budaya, suku, agama, ras yang memiliki struktur kelembagaan
yang berbeda-beda pula. Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan terdiri
dari ratusan suku bangsa dan beragam budaya membuat Indonesia dapat dinobatkan
sebagai negara multikultural. Tentu masyarakat multikultural yang terdapat di
Indonesia ini tidak lepas dari sejarah persebaran suku dan ras yang telah
terjadi jutaan tahun yang lalu.
Sejauh ini tidak ada
nukti yang pasti tentang kapan manusia modern atau yang kita kenal dengan homo sapiens menyebar ke Indonesia.
Menurut teori out of Africa maka
manusia modern ini setidaknya menghuni Indonesia sebelum menyebar ke Australia.
Storm mengemukakan bahwa manusia modern memasuki Indonesia diantara 126.000 dan
81.000 tahun yang lalu bersamaan dengan meluasnya hutan hujan tropis ke arah
selatan. B. Thiel mengatakan bahwa migrasi manusia modern ke Nusantara
(khususnya nusantara bagian timur hingga Australia) terjadi pada kala
pleistosen atas. Kenaikan air laut yang terjadi pada waktu itu menyebabkan
berkurangnya daratan sehingga menyebabkan berkurangnya persediaan makanan.
Kondisi ini mendorong perpindahan manusia untuk mencari tanah hunian baru. Atas
pandangan ini, maka pada pulau-pulau Indonesia timur yang dipisahkan oleh laut
paparan sunda, kemungkinan terdapat sisa okupasi manusia lebih tua dari 50.000
tahun yang lalu (Tanudirjo,dkk., 2012:163).
Menurut teori
persebaran ras yang dikemukakan oleh Von Heine Geldern, asal usul nenek moyang
Indonesia berasal dari Asia Tengah tepatnya berasal dari wilayah Yunan (Cina
Selatan). Ras yang pertama kali datang ke Indonesia adalah ras austromelanesoid
yang memiliki ciri perawakan pendek, berkulit hitam, rambut kriting, hidung
pesek besar dan memiliki badan yang besar. Ras ini diperkirakan datang ke
Indonesia melalui jalur darat. Berselang beberapa ratus tahun kemudian
datanglah bangsa yang lebih muda yang oleh Van Heine Geldern disebut dengan
bangsa Austronesia. Austronesia sendiri dibagi menjadi menjadi bangsa Melayu
tua atau Proto Melayu dan bangsa Melayu muda atau Deutro Melayu. Proto Melayu
datang lebih dulu ke Indonesia melalui jalur laut dengan menggunakan perahu
bercadik. Kedatangan Proto Melayu mendesak bangsa aurtomelanesoid untuk
kemudian berpindah menuju ke arah timur. Ciri-ciri bangsa Proto Melayu adalah
perawakannya sedang, kulit coklat, hidung pesek kecil, dan rambut kriting.
Selang beberapa waktu kemudian, datanglah bangsa Deutro Melayu yang juga datang
melalui jalur laut menggunakan perahu bercadik. Bangsa Deutro Melayu mempunyai
ciri perawakan sedang, kulit sawo matang, hidung mancung, dan rambut lurus.
Kedatangan bangsa Deutro Melayu kemudian mendesak bangsa Proto Melayu dan
autromelanesoid untuk berpindah lebih ke arah timur. Pada fase akhirnya, bangsa
autromelanesoid menghuni daerah Papua dan sekitarnya, bangsa Proto Melayu menghuni
daerah Nusa Tenggara, Maluku, dan sebagian Sulawesi, sedangkan bangsa Deutro Melayu
menghuni pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Terdapat bangsa lain
yang kemudian datang ke Indonesia. Bangsa itu adalah bangsa Mongoloid. Bangsa Mongoloid
yang datang ke Indonesia bukanlah bangsa Mongoloid yang berkembang di Cina dan
Jepang. Bangsa Mongoloid ini disebut bangsa Mongoloid selatan. Mongoloid
selatan ini memiliki ciri yang berbeda dengan bangsa Mongoloid utara (Cina dan
Jepang), bangsa Mongolid selatan yang datang ke Indonesia memiliki ciri
perawakan tinggi, mata sedikit lebih lebar dari Mongoloid utara, kulit kuning
langsat, rambut lurus, dan bentuk muka yang lebar. Diperkirakan bangsa Mongoloid
selatan ini menyebar ke daerah Kalimantan dan Sulawesi dengan berbagai macam
temuan arkeologis, semisal cara penguburan yang menggunakan peti kubur dan
dimasukkan ke dalam gua (Tanudirjo,dkk., 2012:260-264).
Berdasarkan teori-teori
persebaran ras di Indonesia dapat disimpulakan bahwa ras yang pertama kali
datang ke Indonesia yaitu ras Austromelanesoid menjadi nenek moyang suku Papua.
Ras Proto Melayu yang datang kemudian menjadi nenek moyang suku Nusa Tenggara,
Maluku dan sekitarnya. Ras Deutro Melayu yang datang setelah Proto Melayu
menjadi nenek moyang suku jawa, Sumatera, Bali, dan sebagian Kalimantan. Bangsa
Mongoloid yang diperkirakan datang paling akhir kemudian dapat diperkirakan
menjadi nenek moyang suku dayak dan juga suku-suku yang ada di Sulawesi.
Ras-ras itu dalam perkembangannya berkembang membentuk kebudayaan yang juga
berbeda-beda sesuai dengan kondisi sosial geografis dimana tempat mereka
tinggal.
Pada perkembangannya
saat agama hindu dan budha masuk ke Indonesia sekitar abad ke 4 M, masyarakat
di daerah daerah di kepulauan Indonesia mulai berdagang dan melakukan interaksi
dengan kelompok masyarakat lain yang berbeda budaya dan suku. Meskipun
interaksi itu masih belum memberikan sebuah persatuan dalam bentuk masyarakat
multikultural, namun dari situ dapat dilihat bahwa interaksi interaksi itu
secara tidak langsung memberikan sebuah pengaruh terhadap kelompok masyarakat
lain dengan saling mengenalkan budaya masyarakat itu sendiri. Hal-hal di atas
itulah yang menjadi benih terbrntuknya masyarakat multikultural di Indonesia.
B. Masyarakat Multikultural Indonesia
Sebuah
masyarakat multikultural tidak akan terbentuk jika kelompok-kelompok yang
saling berbeda-beda itu tidak menyatukan diri ke dalam sebuah aturan yang disepakati
bersama dengan wadah masyarakat yang lebih luas baik itu secara terpaksa maupun
tidak. Seperti halnya dengan Indonesia, Indonesia tidak akan dikatakan sebagai
negara yang multikultural jika masing-masing etnis dan kelompok yang ada di
daerah-daerah itu tidak mau untuk menyatukan diri di dalam satu ikatan sebagai
bangsa dalam wadah negara kesatuan ini.
Mereka bisa dikatakan sebagai masyarakat
multikultural karena masing-masing kelompok masyarakatnya memiliki berbagai
macam kebudayaan, adat istiadat dan terdiri dari berbagai macam ras, suku,
berbagai macam warna kulit, bahasa, serta agama yang ada di negara Indonesia
ini juga bermacam-macam. Pada sensus tahun 2000, tercatat lebih dari 1000 grup
etnik dan sub-etnik, yang masing-masing grup mengklaim mempunyai bahasa dan
budaya sendiri (Lan, 2011:153). Dari banyaknya kebudayaan, ras, suku bangsa,
dan agama yang terdapat pada masyarakat indonesia dan membuat kerukunan antar
masyarakatnya sehingga memunculkan semboyan, yakni semboyan Bhinneka tunggal
ika yang berarti berbeda-beda namun tetap satu jua (Suparlan, 2005:35).
Sebenarnya masyarakat
multikultural di Indonesia ini terbentuk karena persamaan nasib dan cita-cita
yang ada di seluruh lapisan masyarakat yang ada di daerah daerah tanpa
memandang suku dan budaya masing masing. Persamaan nasib akan penjajahan
Belanda yang menyebabkan kesengsaraan bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia
terutama golongan menengah kebawah membuat masyarakat Indonesia mempunyai suatu
tujuan yang sama yaitu membentuk sebuah negara yang bebas dari penjajahan. Dari
situlah kemudian muncul gagasan gagasan dari para tokoh negeri ini untuk melakukan perlawanan dengan
mengatasnamakan satu bangsa. Realisasi dari persatuan masyarakat multikultural
Indonesia terwujud ketika terjadi sumpah pemuda pertama dan kedua yang terjadi
pada tahun 1926-1928. Para pemuda dari berbagai etnis berkumpul menyatukan visi
dan tujuan untuk memerdekakan Indonesia, mengesampingkan perbedaan yang mereka
miliki.
Puncaknya tentu saja adalah kemerdekaan
Indonesia yang menghasilkan berbagai macam peraturan yang mengikat dan mewakili
seluruh bangsa untuk melebur menjadi satu yaitu bangsa Indonesia. Meskipun
dalam perjalanan berikutnya masih banyak konflik antar etnis, agama, dan
ideologi yang terjadi di Indonesia, namun konflik itu masih bisa dikendalikan
dan tidak sampai meluas menimbulkan sebuah ketegangan nasional. Memang tidak
dipungkiri salah satu konflik yang menodai persatuan dan kemultikulturalan
Indonesia adalah lepasnya Timor timor dari Indonesia, kemudian juga terdapat
konflik gerakan papua merdeka, dan gerakan aceh merdeka, yang tentu saja
konflik tersebut sebenarnya adalah konflik etnis dan agama.
Menurut Sunarto (dalam Suparlan, 2005) Masyarakat
multikultural yang tinggal di Indonesia umumnya hidup secara rukun, hal itu
bisa dilihat dalam kegiatan keseharian yang mereka lakukan, akan tetapi tidak
menutup kemungkinan dengan meningkatnya heterogenitas komposisi penduduk
seringkali menimbulkan friksi sosial, ekonomi, dan politik dan dapat
menimbulkan kompetisi serta konflik yang membahayakan. Tentu saja memang tidak
dipungkiri bahwa keberagaman yang begitu banyak di Indonesia ini memang sangat
rawan akan konflik antar etnis atau suku. Memang perlu adanya kesadaran bagi
setiap anggota masyarakat pada etnis manapun akan keberagaman ini bahwa
keberagaman bukanlah sebuah hambatan dan ancaman, melainkan sebuah kekuatan
untuk menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ciri-ciri yang menyolok
dan kritikal dari masyarakat multikultural adalah hubungan antara sistem
nasional atau pemerintah nasional dengan masyrakat suku bangsa, dan hubungan di
antara masyarakat suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional. Masyarakat
multikultural yang terdapat di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok yakni:
kelompok mayoritas dan kelompok minoritas (Suparlan, 2005:77). Dalam perspektif
hubungan kekuatan, sistem nasional atau pemerintahan nasional adalah yang
dominan dan masyarakat suku bangsa adalah minoritas. Dalam masyarakat
multikultural dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan
politik yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial yang
membedakan mereka yang tergolong sebagai dominan yang menjadi lawan dari yang
minoritas. Dalam struktur yang berlaku nasional ini terdapat struktur-struktur
hubungan kekuatan dominan-minoritas yang bervariasi sesuai konteks-konteks
hubungan dan kepentingan yang berlaku.
Dalam
istilah resmi dan untuk sejumlah kepentingan administratif praktis,
pemerintah Indonesia membagi sukubangsa di Indonesia menjadi tiga golongan, ialah : (1)
sukubangsa; (2) golongan keturunan asing; dan (3) masyarakat terasing. Semua
sukubangsa memiliki daerah asal dalam wilayah Indonesia, sedangkan golongan
keturunan asing tersebut dalam point ke dua tidak memilikinya karena daerah
asal mereka terdapat diluar wilayah Indonesia (Cina, Arab, India, Eropa), atau
karena keturunan percampuran (Indo-Eropa), dalam perkembangannya kemudian
mereka dihadapkan pada dua alternatif, akan menjadi warga negara Indonesia
dengan segala konsekuensinya, atau kembali ke negara asalnya dan tetap dianggap
sebagai warga asing; kecuali orang keturunan Eropa, maka sukubangsa seperti
keturunan Cina, Arab , dan India kemudian banyak yang menjadi warga
negaraIndonesia. Masyarakat terasing dianggap penduduk yang masih hidup dalam
taraf kebudayaansederhana, dan biasanya
masih tinggal dalam lingkungan yang terisolasi (Bactiar, 1996:45)
Undang-undang
Dasar 1945 mengakui perbedaan suku bangsa yang besar di antara penduduk
Indonesia dan menjamin persamaan status bagi semua suku bangsa yang ada di
negara ini, tanpa melihat besar kecilnya suatu kelompok suku bangsa tersebut.
Semua sukubangsa tanpa terkecuali memiliki hak yang sama untuk mengembangkan
kebudayaan, bahasa, serta kebiasaan lain mereka masing-masing, dengan catatam
tidak sampai melanggar norma hukum yang berlaku, akan tetapi bahasa yang
digunakan dalam pendidikan resmi haruslah bahasa Indonesia, meskipun selama
tiga tahun peertama bahasa daerah masih digunakan di sekolah.
Tidak seperti suku bangsa,
penduduk yang termasuk sebagai golongan keturunan asing pada umumnya mereka diharapkan
dapat berasimilasi dengan suku bangsa di daerah mana tempak mereka tinggal atau
jika tidak, sepenuhnya menganut kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan asli mereka
hanya untuk dianut dalam kehidupan pribadi mereka. Orang Arab Indonesia sebagai
contohnya telah dengan nyata mencapai asimilasi ini, dan mereka hanya dibedakan
dari penduduk asli melalui ciri-ciri ras mereka, sedangkan orang India
Indonesia dan orang Indo-Eropa sangat kecil dan tak penting jumlahnya, dan
mereka terintegrasi atau menganut kebudayaan aslinya dalam pergaulan pribadi
saja. Sebaliknya, orang keturunan Cina, pada umumnya hidup di daerah perkotaan
dan mendominasi sektor ekonomi perkotaan masyarakat kota, sehingga mendudukan
mereka pada kategori sosial yang sangat penting dalam masyarakat.
Masyarakat terasing
merupakan golongan sukubangsa yang terisolasi. Cara hidup mereka bisa masih
berkisar kepada berburu, meramu atau berladang padi, dan umbi-umbian dengan
cara ladang berpindah, mereka membuka hutan dan membuka lahan dengan cara
membakar hutan itu. Sebagian besar mereka terhambat dari perubahan dan kemajuan
karena isolasi geografi mereka, namun kadang-kadang juga karena upaya-upaya
mereka sendiri yang disengaja, untuk menolak bentuk perubahan kebudayaan
apapun, seperti halnya orang Baduy di Banten atau orang Samin di pegunungan
rendeng. Seiring berjalannya waktu banyak warga masyarakat terasing kini mulai
mengintegrasikan diri mereka dalam kebudayaan nasional Indonesia, dan
kebudayaan asli mereka memudar dengan cepat.
Koentjaraningrat (1993:75)
mengemukakan beberapa golongan masyarakat terasing yang masih tinggal adalah :
(1) orang laut yang bersifat pengembara, sebagaimana yang tercatat dalam
karangan-karangan etnografi; (2) Orang Darat, yang hidup tersebar di daerah
dataran rendah berawa di Sumatra Timur hingga ke kaki Bukit Barisan di
pedalaman; (3) Penduduk kepulauan Mentawai, pulau-pulau di sebelah Sumatra
Barat; (4) Orang Baduy di Banten Selatan, Jawa Barat; (5) Orang Donggo, di
bagian pedalaman pegunungan Sumbawa Timur; (6) kelompok pengembara orang Punan
(atau Penan) yang berpindah-pindah di sepanjang hulu sungai-sungai besar di
Kalimantan; (7) Orang Tajio, di Sulawesi Tengah; (8) Orang Amma Toa di Sulawesi
Tenggara; (9) Orang Togutil di Halmahera Utara, dan (10) penduduk lembah-lembah
pegunungan Tengah di Irian Jaya serta mereka yang hidup di hulu-hulu beberapa
buah sungai besar
Hildred Geertz (1983:125), seorang
ahli Antropologi tentang Indonesia, menyatakan bahwa dari sekitar 300
sukubangsa yang ada di Indonesia, sekurangnya ada 250 bahasa daerah yang
dipergunakan; Geertz membagi pengunaan bahasa daerah itu menjadi tiga
klasifikasi, yaitu (1) kelompok keluarga bahasa Melayu Polinesia, yaitu
bahasa-bahasa yang digunakan diseluruh kepulauan Indonesia Barat dan Tengah,
(2) kelompok keluarga bahasa Halmahera Utara, dan (3) kelompok keluarga
bahasa-bahasa Papua, termasuk didalamnya kelompok Ambon-Timor,
Sula–Bacan, dan kelompok Halmahera selatan serta Papua. Seorang sarjana Belanda
C. Van Vollenhoven (1949) membedakan kebudayaan sukubangsa Indonesia
berdasarkan sistem lingkaran-lingkaran hukum adat dari masing-masing sukubangsa
yang tersebar di Indonesia; Van Vollenhoven membagi lingkaran-lingkaran itu ke
dalam 19 daerah hukum adat, yaitu yang meliputi : Aceh, Gayo-Alas dan Batak (termasuk Nias dan Batu), Minangkabau
(termasuk Mentawai), Sumatera Selatan (termasuk Enggano), Melayu, Bangka dan
Biliton, Kalimantan (termasuk Sangir-Talaud) Gorontalo, Toraja, Sulawesi
Selatan, Ternate, Ambon Maluku (termasuk kepulauan Barat Daya), Irian, Timor,
Bali dan Lombok, Jawa Tengah dan Jawa Timur, Surakarta dan Yogyakarta, dan Jawa
Barat.
Kemultikulturalan
masyarakat Indonesia juga dihiasi oleh kelompok lain berdasarkan agama yang
dianut oleh masing masing individu atau kelompok. Di wilayah negara Republik
Indonesia terdapat paling sedikit 6 umat agama yang besar, yaitu umat Islam,
Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghutju. Para anggota
umat suatu agama tidak hanya mencakup sekalian warga masyarakat Indonesia,
warga bangsa Indonesia, ataupun sekalian warga negara Republik Indonesia, akan
tetapi masing-masing umat agama, tanpa terkecuali, juga beranggotakan sejumlah
orang asing yang menganut agama yang sama. Bahkan sesungguhnya umat agama di
Indonesia merupakan bagian dari umat yang jauh lebih besar dan tersebar juga di
luar Indonesia. Pusat kegiatan ibadah umat agama Islam berada di negeri Arab,
Mekkah dan Medinah. Berbagai jemaah agama Kristen Protestan merupakan bagian
dari jemaah agama yang berpusat di negeri Inggris, Jerman, Amerika Serikat,
atau Israel. Umat agama Katolik merupakan bagian dari umat besar yang dipimpin
oleh hierarki agama yang berpusat di Vatikan. Umat agama Hindu dan budha
mengacu pada kitab-kitab suci yang berasal dari India. Konghutju berdasarkan pada
filsafat Lao tse di Cina.
C. Hubungan Antar Etnis
Seperti yang
telah dijelaskan di atas, bahwa dalam masyarakat multikultural secara garis
besar terdapat dua golongan yaitu golongan mayoritas dan golongan minoritas. Kelompok
minoritas adalah orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul
keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang lainnya dan
diperlakukan secara tidak sederajad atau tidak adil dalam masyarakat dimana
mereka hidup. Biasanya mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi secara
kolektif. Mereka diperlakukan sebagai orang luar dari masyarakat dimana mereka
hidup. Mereka juga menduduki posisi yang tidak menguntungkan dalam kehidupan
sosial masyarakatnya, karena mereka dibatasi dalam sejumlah
kesempatan-kesempatan sosial, ekonomi, dan politik. Mereka yang tergolong
minoritas mempunyai gengsi yang rendah dan seringkali menjadi sasaran
olok-olok, kebencian, kemarahan, dan kekerasan. Posisi mereka yang rendah
termanifestasi dalam bentuk akses yang terbatas terhadap kesempatan-kesempatan
pendidikan, dan keterbatasan dalam kemajuan pekerjaan dan profesi.
Keberadaan kelompok
minoritas selalu dalam kaitan dan pertentangannya dengan kelompok dominan,
yaitu mereka yang menikmati status sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang
banyak. Mereka ini mengembangkan seperangkat prasangka terhadap golongan
minoritas yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka ini berkembang berdasarkan
pada adanya (1) perasaan superioritas pada mereka yang tergolong dominan; (2)
sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa golongan
minoritas yang rendah derajadnya itu adalah berbeda dari mereka dantergolong
sebagai orang asing; (3) adanya klaim pada golongan dominan bahwa sebagai akses
sumber daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan
bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah derajadnya itu akan mengambil
sumberdaya-sumberdaya tersebut.
Keberadaan dan
kehidupan minoritas yang dilihat dalam pertentangannya dengan dominan, adalah
sebuah pendekatan untuk melihat minoritas dengan segala keterbatasannya dan
dengan diskriminasi dan perlakukan yang tidak adil dari mereka yang tergolong
dominan. Dalam perspektif ini, dominan-minoritas dilihat sebagai hubungan kekuatan.
Kekuatan yang terwujud dalam struktur-struktur hubungan kekuatan, baik pada
tingkat nasional maupun pada tingkat-tingkat lokal. Bila kita melihat minoritas
dalam kaitan atau pertentangannya dengan mayoritas maka yang akan dihasilkan
adalah hubungan mereka yang populasinya besar (mayoritas) dan yang populasinya
kecil (minoritas). Perspektif ini tidak akan dapat memahami mengapa golongan
minoritas didiskriminasi. Karena besar populasinya belum tentu besar
kekuatannya.
Konsep diskriminasi
sebenarnya hanya digunakan untuk mengacu pada tindakan-tindakan perlakuan yang
berbeda dan merugikan terhadap mereka yang berbeda secara askriptif oleh
golongan yang dominan. Yang termasuk golongan sosial askriptif adalah suku
bangsa (termasuk golongan ras, kebudayaan sukubangsa, dan keyakinan beragama),
gender atau golongan jenis kelamin, dan umur. Berbagai tindakan diskriminasi
terhadap mereka yang tergolong minoritas, atau pemaksaan untuk merubah cara
hidup dan kebudayaan mereka yang tergolong minoritas (atau asimilasi) adalah
pola-pola kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat majemuk. Berbagai kritik
atau penentangan terhadap dua pola yang umum dilakukan oleh golongan dominan
terhadap minoritas biasanya tidak mempan, karena golongan dominan mempunyai
kekuatan berlebih dan dapat memaksakan kehendak mereka baik secara kasar dengan
kekuatan militer dan atau polisi atau dengan menggunakan ketentuan hukum dan
berbagai cara lalin yang secara sosial dan budaya masuk akal bagi kepentingan
mereka yang dominan. Menurut suparlan (2005:120) cara yang terbaik adalah
dengan merubah masyarakat majemuk (plural society) menjadi masyarakat
multikultural (multicultural society), dengan cara mengadopsi ideologi
multikulturalisme sebagai pedoman hidup dan sebagai keyakinan bangsa Indonesia
untuk diaplikasikan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Sebenarnya hubungan
antar etnis di Indonesia bisa dikatakan cukup harmonis, mengingat memang jarang
sekali konflik antar etnis terjadi di Indonesia. Memang tidak dipugkiri ada
beberapa konflik etnis yang cukup besar yang pernah terjadi di Indonesia
seperti halnya konflik sampit antara etnis dayak dan madura pada tahun 2001.
Berdasarkan konflik tersebut dapat terlihat bahwa sebenarnya penyebab dari
konflik adalah sebuah kecemburuan dari etnis dayak yang merupakan penduduk asli
pulau Kalimantan terhadap etnis madura sebagai etnis imigran namun dirasa telah
mendesak kehidupan masyarakat etnis dayak. Dari situ terlihat bahwa terjadinya
konflik antar etnis terjadi karena hubungan yang kurang harmonis antara etnis
dominan dan minoritas karena memang belum terciptanya sebuah pemahaman akan
paham multikulturalisme.
Pada saat ini hubungan kemultikulturalan Indonesia
sedang di uji kembali oleh kasus yang melibatkan antar pemeluk agama. Hal itu
dikarenakan terdapat kasus penistaan agama Islam yang dilakukan oleh Gubernur
DKI Jakarta yaitu Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disapa Ahok. Konflik ini
jelas menciderai kebinekaan Indonesia yang
seharusnya saling mendukung satu sama lain untuk membuat Indonesia
menjadi lebih baik. Tapi memang secara keseluruhan semenjak kemerdekaan
Republik Indonesia dikumandangkan pada tahun 1945, bisa dikatakan hubungan
antar etnis di daerah daerah cukup harmonis, meskipun ada beberapa konflik
etnis yang terjadi beberapa tahun belakangan ini tetapi semuanya dapat di atasi
oleh pemerintah Indonesia dan tidak sampai memecah belah persatuan yang telah
terjalin begitu lama di Indonesia ini. Seharusnya sebagai warga negara yang
baik kita haruslah menanamkan nilai multikulturalisme sebagai pegangan bahwa
memang Indonesia adalah negara yang multikultur dan setiap warga negara wajib
menghargai dan menghormati budaya dari etnis lain sebagai sebuah kebiasaan
hidup menyongsong Bhineka Tunggal Ika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar