Jumat, 21 April 2017

Masyarakat Multikultural Indonesia



Masyarakat Multikultural merupakan istilah dari sebuah masyarakat yang memiliki beragam budaya. J.S. Furnival menyatakan masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas (kelompok) yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Masyarakat multikultural di dalamnya terdiri dari perbedaan budaya, seperti ras, suku, bahasa, adat istiadat, agama, dan perbedaan lainnya di masing-masing komunitas (Azra, 2007:13) Menurut Susanto (2008), multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari atas banyak struktur kebudayaan. Hal tersebut disebabkan karena banyaknya suku bangsa yang memiliki struktur budaya sendiri yang berbeda dengan budaya suku bangsa lainnya.
Munculnya konsep masyarakat multikultural, memunculkan pula konsep tentang multikulturalisme. Multikulturalisme yang jika dipisah secara etimologis berasal dari kata multi yang berarti banyak, kultur yang berarti budaya, dan isme yang berarti paham. Secara harfiah multikulturalisme adalah paham tentang kemajemukan budaya yang terdapat pada suatu daerah tertentu yang terdapat pengakuan akan martabat manusia dari masing masing budaya yang berbeda dan unik (Mahfud, 2006:75). Menurut Suparlan (2005:102) multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Lebih jauh Tilaar (2004:83) menyatakan bahwa multikulturalisme dapat dibedakan sebagai berikut :
a.       Pengertian tradisional multikulturalisme yang disebut juga gelombang pertama aliran multikulturalisme, mempunyai dua ciri utama, yaitu (1) kebetulan terhadap pengakuan (the need recognition) dan (2) Legitimasi keragaman budaya atau pluralism budaya
b.      Multikulturalisme baru mengandung hal-hal yang essensial di dalam perjuangan kelakuan budaya yang berbeda (the other). Tahap perkembangan multikultural telah menampung berbagai jenis pemikiran baru yaitu (1) pengaruh study cultural, (2) poskolonialisme, (3) globalisasi, (4) feminisme dan postfeminisme, (5) teori ekonomi politik neomarxisme, (6) poststrukturalisme.

Berdasarkan konsep masyarakat multikultural dan multikulturalisme di atas, dapat terlihat bahwa salah satu negara yang memiliki masyarakat yang multikultural adalah Indonesia. Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari belasan sampai puluhan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Setiap pulau yang ada di Indonesia memiliki ragam masyakat yang berbeda beda baik dari segi budaya, agama, dan suku. Letak geografis masing masing daerah Indonesia yang berbeda beda menjadikan masing masing pulau memiliki karakteristik suku dan budaya masing-masing. Tentunya dengan beragamnya suku, budaya, agama dan ras di Indonesia ini hendaknya menjadikan masyarakatnya sadar bahwa keberagaman ini tidak lantas dijadikan sebuah perseteruan yang bisa menyebabkan konflik. Semua masyarakat Indonesia tanpa terkecuali haruslah mampu menerapkan paham multikulturalisme sebagai dasar hubungan yang terjalin terhadap budaya satu dengan budaya yang lainnya agar hubungan itu menjadi hubungan yang harmonis.

A. Sejarah Masyarakat Multikultural Indonesia
Seperti telah di jelaskan di awal bahwa masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai macam budaya, suku, agama, ras yang memiliki struktur kelembagaan yang berbeda-beda pula. Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan terdiri dari ratusan suku bangsa dan beragam budaya membuat Indonesia dapat dinobatkan sebagai negara multikultural. Tentu masyarakat multikultural yang terdapat di Indonesia ini tidak lepas dari sejarah persebaran suku dan ras yang telah terjadi jutaan tahun yang lalu.
Sejauh ini tidak ada nukti yang pasti tentang kapan manusia modern atau yang kita kenal dengan homo sapiens menyebar ke Indonesia. Menurut teori out of Africa maka manusia modern ini setidaknya menghuni Indonesia sebelum menyebar ke Australia. Storm mengemukakan bahwa manusia modern memasuki Indonesia diantara 126.000 dan 81.000 tahun yang lalu bersamaan dengan meluasnya hutan hujan tropis ke arah selatan. B. Thiel mengatakan bahwa migrasi manusia modern ke Nusantara (khususnya nusantara bagian timur hingga Australia) terjadi pada kala pleistosen atas. Kenaikan air laut yang terjadi pada waktu itu menyebabkan berkurangnya daratan sehingga menyebabkan berkurangnya persediaan makanan. Kondisi ini mendorong perpindahan manusia untuk mencari tanah hunian baru. Atas pandangan ini, maka pada pulau-pulau Indonesia timur yang dipisahkan oleh laut paparan sunda, kemungkinan terdapat sisa okupasi manusia lebih tua dari 50.000 tahun yang lalu (Tanudirjo,dkk., 2012:163).
Menurut teori persebaran ras yang dikemukakan oleh Von Heine Geldern, asal usul nenek moyang Indonesia berasal dari Asia Tengah tepatnya berasal dari wilayah Yunan (Cina Selatan). Ras yang pertama kali datang ke Indonesia adalah ras austromelanesoid yang memiliki ciri perawakan pendek, berkulit hitam, rambut kriting, hidung pesek besar dan memiliki badan yang besar. Ras ini diperkirakan datang ke Indonesia melalui jalur darat. Berselang beberapa ratus tahun kemudian datanglah bangsa yang lebih muda yang oleh Van Heine Geldern disebut dengan bangsa Austronesia. Austronesia sendiri dibagi menjadi menjadi bangsa Melayu tua atau Proto Melayu dan bangsa Melayu muda atau Deutro Melayu. Proto Melayu datang lebih dulu ke Indonesia melalui jalur laut dengan menggunakan perahu bercadik. Kedatangan Proto Melayu mendesak bangsa aurtomelanesoid untuk kemudian berpindah menuju ke arah timur. Ciri-ciri bangsa Proto Melayu adalah perawakannya sedang, kulit coklat, hidung pesek kecil, dan rambut kriting. Selang beberapa waktu kemudian, datanglah bangsa Deutro Melayu yang juga datang melalui jalur laut menggunakan perahu bercadik. Bangsa Deutro Melayu mempunyai ciri perawakan sedang, kulit sawo matang, hidung mancung, dan rambut lurus. Kedatangan bangsa Deutro Melayu kemudian mendesak bangsa Proto Melayu dan autromelanesoid untuk berpindah lebih ke arah timur. Pada fase akhirnya, bangsa autromelanesoid menghuni daerah Papua dan sekitarnya, bangsa Proto Melayu menghuni daerah Nusa Tenggara, Maluku, dan sebagian Sulawesi, sedangkan bangsa Deutro Melayu menghuni pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Terdapat bangsa lain yang kemudian datang ke Indonesia. Bangsa itu adalah bangsa Mongoloid. Bangsa Mongoloid yang datang ke Indonesia bukanlah bangsa Mongoloid yang berkembang di Cina dan Jepang. Bangsa Mongoloid ini disebut bangsa Mongoloid selatan. Mongoloid selatan ini memiliki ciri yang berbeda dengan bangsa Mongoloid utara (Cina dan Jepang), bangsa Mongolid selatan yang datang ke Indonesia memiliki ciri perawakan tinggi, mata sedikit lebih lebar dari Mongoloid utara, kulit kuning langsat, rambut lurus, dan bentuk muka yang lebar. Diperkirakan bangsa Mongoloid selatan ini menyebar ke daerah Kalimantan dan Sulawesi dengan berbagai macam temuan arkeologis, semisal cara penguburan yang menggunakan peti kubur dan dimasukkan ke dalam gua (Tanudirjo,dkk., 2012:260-264).
Berdasarkan teori-teori persebaran ras di Indonesia dapat disimpulakan bahwa ras yang pertama kali datang ke Indonesia yaitu ras Austromelanesoid menjadi nenek moyang suku Papua. Ras Proto Melayu yang datang kemudian menjadi nenek moyang suku Nusa Tenggara, Maluku dan sekitarnya. Ras Deutro Melayu yang datang setelah Proto Melayu menjadi nenek moyang suku jawa, Sumatera, Bali, dan sebagian Kalimantan. Bangsa Mongoloid yang diperkirakan datang paling akhir kemudian dapat diperkirakan menjadi nenek moyang suku dayak dan juga suku-suku yang ada di Sulawesi. Ras-ras itu dalam perkembangannya berkembang membentuk kebudayaan yang juga berbeda-beda sesuai dengan kondisi sosial geografis dimana tempat mereka tinggal.
Pada perkembangannya saat agama hindu dan budha masuk ke Indonesia sekitar abad ke 4 M, masyarakat di daerah daerah di kepulauan Indonesia mulai berdagang dan melakukan interaksi dengan kelompok masyarakat lain yang berbeda budaya dan suku. Meskipun interaksi itu masih belum memberikan sebuah persatuan dalam bentuk masyarakat multikultural, namun dari situ dapat dilihat bahwa interaksi interaksi itu secara tidak langsung memberikan sebuah pengaruh terhadap kelompok masyarakat lain dengan saling mengenalkan budaya masyarakat itu sendiri. Hal-hal di atas itulah yang menjadi benih terbrntuknya masyarakat multikultural di Indonesia.

B. Masyarakat Multikultural Indonesia
Sebuah masyarakat multikultural tidak akan terbentuk jika kelompok-kelompok yang saling berbeda-beda itu tidak menyatukan diri ke dalam sebuah aturan yang disepakati bersama dengan wadah masyarakat yang lebih luas baik itu secara terpaksa maupun tidak. Seperti halnya dengan Indonesia, Indonesia tidak akan dikatakan sebagai negara yang multikultural jika masing-masing etnis dan kelompok yang ada di daerah-daerah itu tidak mau untuk menyatukan diri di dalam satu ikatan sebagai bangsa dalam wadah negara kesatuan ini.
Mereka bisa dikatakan sebagai masyarakat multikultural karena masing-masing kelompok masyarakatnya memiliki berbagai macam kebudayaan, adat istiadat dan terdiri dari berbagai macam ras, suku, berbagai macam warna kulit, bahasa, serta agama yang ada di negara Indonesia ini juga bermacam-macam. Pada sensus tahun 2000, tercatat lebih dari 1000 grup etnik dan sub-etnik, yang masing-masing grup mengklaim mempunyai bahasa dan budaya sendiri (Lan, 2011:153). Dari banyaknya kebudayaan, ras, suku bangsa, dan agama yang terdapat pada masyarakat indonesia dan membuat kerukunan antar masyarakatnya sehingga memunculkan semboyan, yakni semboyan Bhinneka tunggal ika yang berarti berbeda-beda namun tetap satu jua (Suparlan, 2005:35).
Sebenarnya masyarakat multikultural di Indonesia ini terbentuk karena persamaan nasib dan cita-cita yang ada di seluruh lapisan masyarakat yang ada di daerah daerah tanpa memandang suku dan budaya masing masing. Persamaan nasib akan penjajahan Belanda yang menyebabkan kesengsaraan bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia terutama golongan menengah kebawah membuat masyarakat Indonesia mempunyai suatu tujuan yang sama yaitu membentuk sebuah negara yang bebas dari penjajahan. Dari situlah kemudian muncul gagasan gagasan dari para tokoh negeri  ini untuk melakukan perlawanan dengan mengatasnamakan satu bangsa. Realisasi dari persatuan masyarakat multikultural Indonesia terwujud ketika terjadi sumpah pemuda pertama dan kedua yang terjadi pada tahun 1926-1928. Para pemuda dari berbagai etnis berkumpul menyatukan visi dan tujuan untuk memerdekakan Indonesia, mengesampingkan perbedaan yang mereka miliki.
 Puncaknya tentu saja adalah kemerdekaan Indonesia yang menghasilkan berbagai macam peraturan yang mengikat dan mewakili seluruh bangsa untuk melebur menjadi satu yaitu bangsa Indonesia. Meskipun dalam perjalanan berikutnya masih banyak konflik antar etnis, agama, dan ideologi yang terjadi di Indonesia, namun konflik itu masih bisa dikendalikan dan tidak sampai meluas menimbulkan sebuah ketegangan nasional. Memang tidak dipungkiri salah satu konflik yang menodai persatuan dan kemultikulturalan Indonesia adalah lepasnya Timor timor dari Indonesia, kemudian juga terdapat konflik gerakan papua merdeka, dan gerakan aceh merdeka, yang tentu saja konflik tersebut sebenarnya adalah konflik etnis dan agama.
Menurut Sunarto (dalam Suparlan, 2005) Masyarakat multikultural yang tinggal di Indonesia umumnya hidup secara rukun, hal itu bisa dilihat dalam kegiatan keseharian yang mereka lakukan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan dengan meningkatnya heterogenitas komposisi penduduk seringkali menimbulkan friksi sosial, ekonomi, dan politik dan dapat menimbulkan kompetisi serta konflik yang membahayakan. Tentu saja memang tidak dipungkiri bahwa keberagaman yang begitu banyak di Indonesia ini memang sangat rawan akan konflik antar etnis atau suku. Memang perlu adanya kesadaran bagi setiap anggota masyarakat pada etnis manapun akan keberagaman ini bahwa keberagaman bukanlah sebuah hambatan dan ancaman, melainkan sebuah kekuatan untuk menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ciri-ciri yang menyolok dan kritikal dari masyarakat multikultural adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintah nasional dengan masyrakat suku bangsa, dan hubungan di antara masyarakat suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional. Masyarakat multikultural yang terdapat di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok yakni: kelompok mayoritas dan kelompok minoritas (Suparlan, 2005:77). Dalam perspektif hubungan kekuatan, sistem nasional atau pemerintahan nasional adalah yang dominan dan masyarakat suku bangsa adalah minoritas. Dalam masyarakat multikultural dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial yang membedakan mereka yang tergolong sebagai dominan yang menjadi lawan dari yang minoritas. Dalam struktur yang berlaku nasional ini terdapat struktur-struktur hubungan kekuatan dominan-minoritas yang bervariasi sesuai konteks-konteks hubungan dan kepentingan yang berlaku.
Dalam istilah resmi dan untuk sejumlah kepentingan administratif praktis, pemerintah Indonesia membagi sukubangsa di Indonesia  menjadi tiga golongan, ialah : (1) sukubangsa; (2) golongan keturunan asing; dan (3) masyarakat terasing. Semua sukubangsa memiliki daerah asal dalam wilayah Indonesia, sedangkan golongan keturunan asing tersebut dalam point ke dua tidak memilikinya karena daerah asal mereka terdapat diluar wilayah Indonesia (Cina, Arab, India, Eropa), atau karena keturunan percampuran (Indo-Eropa), dalam perkembangannya kemudian mereka dihadapkan pada dua alternatif, akan menjadi warga negara Indonesia dengan segala konsekuensinya, atau kembali ke negara asalnya dan tetap dianggap sebagai warga asing; kecuali orang keturunan Eropa, maka sukubangsa seperti keturunan Cina, Arab , dan India kemudian banyak yang menjadi warga negaraIndonesia. Masyarakat terasing dianggap penduduk yang masih hidup dalam taraf  kebudayaansederhana, dan biasanya masih tinggal dalam lingkungan yang terisolasi (Bactiar, 1996:45)
Undang-undang Dasar 1945 mengakui perbedaan suku bangsa yang besar di antara penduduk Indonesia dan menjamin persamaan status bagi semua suku bangsa yang ada di negara ini, tanpa melihat besar kecilnya suatu kelompok suku bangsa tersebut. Semua sukubangsa tanpa terkecuali memiliki hak yang sama untuk mengembangkan kebudayaan, bahasa, serta kebiasaan lain mereka masing-masing, dengan catatam tidak sampai melanggar norma hukum yang berlaku, akan tetapi bahasa yang digunakan dalam pendidikan resmi haruslah bahasa Indonesia, meskipun selama tiga tahun peertama bahasa daerah masih digunakan di sekolah.
Tidak seperti suku bangsa, penduduk yang termasuk sebagai golongan keturunan asing pada umumnya mereka diharapkan dapat berasimilasi dengan suku bangsa di daerah mana tempak mereka tinggal atau jika tidak, sepenuhnya menganut kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan asli mereka hanya untuk dianut dalam kehidupan pribadi mereka. Orang Arab Indonesia sebagai contohnya telah dengan nyata mencapai asimilasi ini, dan mereka hanya dibedakan dari penduduk asli melalui ciri-ciri ras mereka, sedangkan orang India Indonesia dan orang Indo-Eropa sangat kecil dan tak penting jumlahnya, dan mereka terintegrasi atau menganut kebudayaan aslinya dalam pergaulan pribadi saja. Sebaliknya, orang keturunan Cina, pada umumnya hidup di daerah perkotaan dan mendominasi sektor ekonomi perkotaan masyarakat kota, sehingga mendudukan mereka pada kategori sosial yang sangat penting dalam masyarakat.
Masyarakat terasing merupakan golongan sukubangsa yang terisolasi. Cara hidup mereka bisa masih berkisar kepada berburu, meramu atau berladang padi, dan umbi-umbian dengan cara ladang berpindah, mereka membuka hutan dan membuka lahan dengan cara membakar hutan itu. Sebagian besar mereka terhambat dari perubahan dan kemajuan karena isolasi geografi mereka, namun kadang-kadang juga karena upaya-upaya mereka sendiri yang disengaja, untuk menolak bentuk perubahan kebudayaan apapun, seperti halnya orang Baduy di Banten atau orang Samin di pegunungan rendeng. Seiring berjalannya waktu banyak warga masyarakat terasing kini mulai mengintegrasikan diri mereka dalam kebudayaan nasional Indonesia, dan kebudayaan asli mereka memudar dengan cepat.
Koentjaraningrat (1993:75) mengemukakan beberapa golongan masyarakat terasing yang masih tinggal adalah : (1) orang laut yang bersifat pengembara, sebagaimana yang tercatat dalam karangan-karangan etnografi; (2) Orang Darat, yang hidup tersebar di daerah dataran rendah berawa di Sumatra Timur hingga ke kaki Bukit Barisan di pedalaman; (3) Penduduk kepulauan Mentawai, pulau-pulau di sebelah Sumatra Barat; (4) Orang Baduy di Banten Selatan, Jawa Barat; (5) Orang Donggo, di bagian pedalaman pegunungan Sumbawa Timur; (6) kelompok pengembara orang Punan (atau Penan) yang berpindah-pindah di sepanjang hulu sungai-sungai besar di Kalimantan; (7) Orang Tajio, di Sulawesi Tengah; (8) Orang Amma Toa di Sulawesi Tenggara; (9) Orang Togutil di Halmahera Utara, dan (10) penduduk lembah-lembah pegunungan Tengah di Irian Jaya serta mereka yang hidup di hulu-hulu beberapa buah sungai besar
Hildred Geertz (1983:125), seorang ahli Antropologi tentang Indonesia, menyatakan bahwa dari sekitar 300 sukubangsa yang ada di Indonesia, sekurangnya ada 250 bahasa daerah yang dipergunakan; Geertz membagi pengunaan bahasa daerah itu menjadi tiga klasifikasi, yaitu (1) kelompok keluarga bahasa Melayu Polinesia, yaitu bahasa-bahasa yang digunakan diseluruh kepulauan Indonesia Barat dan Tengah, (2) kelompok keluarga bahasa Halmahera Utara, dan (3) kelompok keluarga bahasa-bahasa Papua, termasuk didalamnya kelompok Ambon-Timor, Sula–Bacan, dan kelompok Halmahera selatan serta Papua. Seorang sarjana Belanda C. Van Vollenhoven (1949) membedakan kebudayaan sukubangsa Indonesia berdasarkan sistem lingkaran-lingkaran hukum adat dari masing-masing sukubangsa yang tersebar di Indonesia; Van Vollenhoven membagi lingkaran-lingkaran itu ke dalam 19 daerah hukum adat, yaitu yang meliputi : Aceh, Gayo-Alas dan  Batak (termasuk Nias dan Batu), Minangkabau (termasuk Mentawai), Sumatera Selatan (termasuk Enggano), Melayu, Bangka dan Biliton, Kalimantan (termasuk Sangir-Talaud) Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan, Ternate, Ambon Maluku (termasuk kepulauan Barat Daya), Irian, Timor, Bali dan Lombok, Jawa Tengah dan Jawa Timur, Surakarta dan Yogyakarta, dan Jawa Barat.
Kemultikulturalan masyarakat Indonesia juga dihiasi oleh kelompok lain berdasarkan agama yang dianut oleh masing masing individu atau kelompok. Di wilayah negara Republik Indonesia terdapat paling sedikit 6 umat agama yang besar, yaitu umat Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghutju. Para anggota umat suatu agama tidak hanya mencakup sekalian warga masyarakat Indonesia, warga bangsa Indonesia, ataupun sekalian warga negara Republik Indonesia, akan tetapi masing-masing umat agama, tanpa terkecuali, juga beranggotakan sejumlah orang asing yang menganut agama yang sama. Bahkan sesungguhnya umat agama di Indonesia merupakan bagian dari umat yang jauh lebih besar dan tersebar juga di luar Indonesia. Pusat kegiatan ibadah umat agama Islam berada di negeri Arab, Mekkah dan Medinah. Berbagai jemaah agama Kristen Protestan merupakan bagian dari jemaah agama yang berpusat di negeri Inggris, Jerman, Amerika Serikat, atau Israel. Umat agama Katolik merupakan bagian dari umat besar yang dipimpin oleh hierarki agama yang berpusat di Vatikan. Umat agama Hindu dan budha mengacu pada kitab-kitab suci yang berasal dari India. Konghutju berdasarkan pada filsafat Lao tse di Cina.

C. Hubungan Antar Etnis
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa dalam masyarakat multikultural secara garis besar terdapat dua golongan yaitu golongan mayoritas dan golongan minoritas. Kelompok minoritas adalah orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajad atau tidak adil dalam masyarakat dimana mereka hidup. Biasanya mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi secara kolektif. Mereka diperlakukan sebagai orang luar dari masyarakat dimana mereka hidup. Mereka juga menduduki posisi yang tidak menguntungkan dalam kehidupan sosial masyarakatnya, karena mereka dibatasi dalam sejumlah kesempatan-kesempatan sosial, ekonomi, dan politik. Mereka yang tergolong minoritas mempunyai gengsi yang rendah dan seringkali menjadi sasaran olok-olok, kebencian, kemarahan, dan kekerasan. Posisi mereka yang rendah termanifestasi dalam bentuk akses yang terbatas terhadap kesempatan-kesempatan pendidikan, dan keterbatasan dalam kemajuan pekerjaan dan profesi.
Keberadaan kelompok minoritas selalu dalam kaitan dan pertentangannya dengan kelompok dominan, yaitu mereka yang menikmati status sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang banyak. Mereka ini mengembangkan seperangkat prasangka terhadap golongan minoritas yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka ini berkembang berdasarkan pada adanya (1) perasaan superioritas pada mereka yang tergolong dominan; (2) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang rendah derajadnya itu adalah berbeda dari mereka dantergolong sebagai orang asing; (3) adanya klaim pada golongan dominan bahwa sebagai akses sumber daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah derajadnya itu akan mengambil sumberdaya-sumberdaya tersebut.
Keberadaan dan kehidupan minoritas yang dilihat dalam pertentangannya dengan dominan, adalah sebuah pendekatan untuk melihat minoritas dengan segala keterbatasannya dan dengan diskriminasi dan perlakukan yang tidak adil dari mereka yang tergolong dominan. Dalam perspektif ini, dominan-minoritas dilihat sebagai hubungan kekuatan. Kekuatan yang terwujud dalam struktur-struktur hubungan kekuatan, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat-tingkat lokal. Bila kita melihat minoritas dalam kaitan atau pertentangannya dengan mayoritas maka yang akan dihasilkan adalah hubungan mereka yang populasinya besar (mayoritas) dan yang populasinya kecil (minoritas). Perspektif ini tidak akan dapat memahami mengapa golongan minoritas didiskriminasi. Karena besar populasinya belum tentu besar kekuatannya.
Konsep diskriminasi sebenarnya hanya digunakan untuk mengacu pada tindakan-tindakan perlakuan yang berbeda dan merugikan terhadap mereka yang berbeda secara askriptif oleh golongan yang dominan. Yang termasuk golongan sosial askriptif adalah suku bangsa (termasuk golongan ras, kebudayaan sukubangsa, dan keyakinan beragama), gender atau golongan jenis kelamin, dan umur. Berbagai tindakan diskriminasi terhadap mereka yang tergolong minoritas, atau pemaksaan untuk merubah cara hidup dan kebudayaan mereka yang tergolong minoritas (atau asimilasi) adalah pola-pola kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat majemuk. Berbagai kritik atau penentangan terhadap dua pola yang umum dilakukan oleh golongan dominan terhadap minoritas biasanya tidak mempan, karena golongan dominan mempunyai kekuatan berlebih dan dapat memaksakan kehendak mereka baik secara kasar dengan kekuatan militer dan atau polisi atau dengan menggunakan ketentuan hukum dan berbagai cara lalin yang secara sosial dan budaya masuk akal bagi kepentingan mereka yang dominan. Menurut suparlan (2005:120) cara yang terbaik adalah dengan merubah masyarakat majemuk (plural society) menjadi masyarakat multikultural (multicultural society), dengan cara mengadopsi ideologi multikulturalisme sebagai pedoman hidup dan sebagai keyakinan bangsa Indonesia untuk diaplikasikan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Sebenarnya hubungan antar etnis di Indonesia bisa dikatakan cukup harmonis, mengingat memang jarang sekali konflik antar etnis terjadi di Indonesia. Memang tidak dipugkiri ada beberapa konflik etnis yang cukup besar yang pernah terjadi di Indonesia seperti halnya konflik sampit antara etnis dayak dan madura pada tahun 2001. Berdasarkan konflik tersebut dapat terlihat bahwa sebenarnya penyebab dari konflik adalah sebuah kecemburuan dari etnis dayak yang merupakan penduduk asli pulau Kalimantan terhadap etnis madura sebagai etnis imigran namun dirasa telah mendesak kehidupan masyarakat etnis dayak. Dari situ terlihat bahwa terjadinya konflik antar etnis terjadi karena hubungan yang kurang harmonis antara etnis dominan dan minoritas karena memang belum terciptanya sebuah pemahaman akan paham multikulturalisme.
Pada saat ini hubungan kemultikulturalan Indonesia sedang di uji kembali oleh kasus yang melibatkan antar pemeluk agama. Hal itu dikarenakan terdapat kasus penistaan agama Islam yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta yaitu Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disapa Ahok. Konflik ini jelas menciderai kebinekaan Indonesia yang  seharusnya saling mendukung satu sama lain untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik. Tapi memang secara keseluruhan semenjak kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada tahun 1945, bisa dikatakan hubungan antar etnis di daerah daerah cukup harmonis, meskipun ada beberapa konflik etnis yang terjadi beberapa tahun belakangan ini tetapi semuanya dapat di atasi oleh pemerintah Indonesia dan tidak sampai memecah belah persatuan yang telah terjalin begitu lama di Indonesia ini. Seharusnya sebagai warga negara yang baik kita haruslah menanamkan nilai multikulturalisme sebagai pegangan bahwa memang Indonesia adalah negara yang multikultur dan setiap warga negara wajib menghargai dan menghormati budaya dari etnis lain sebagai sebuah kebiasaan hidup menyongsong Bhineka Tunggal Ika. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar