oleh: Arief Muhammad Ramdhani
SUBJEKTIVITAS DAN OBJEKTIFITAS
SEJARAH
Sejarah adalah ilmu yang mempelajari
tentang peristiwa-peristiwa masa lalu yang benar-benar terjadi mengenai segala
aktivitas manusia di muka bumi. Objek utama kajian ilmu sejarah adalah
aktivitas manusia di masa lampau. Dalam mempelajari ilmu sejarah ini tentunya
harus membaca tulisan-tulisan sejarah yang ditulis oleh sejarawan. Mengenai
tulisan sejarah itu, mungkin banyak orang awam akan bertanya bagaimana bisa peristiwa
yang sudah terjadi bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad yang lalu dapat
diketahui dan dituliskan kembali menjadi sebuah referensi ilmiah? Jawabannya
tentu adalah sederhana, peristiwa sejarah itu meninggalkan bukti-bukti atau
fakta-fakta yang dapat berupa berbagai macam bentuk, semisal dokumen, artefak,
cerita lisan, dan sebagainya. Fakta-fakta itu kemudian dikonstruksi oleh
sejarawan untuk menjadi sebuah cerita sejarah dengan menggunakan metode
sejarah. Metode sejarah sendiri secara garis besar menurut Kuntowijoyo dapat
dibagi menjadi lima tahapan yaitu menentukan tema, mencari sumber, melakukan
kritik, interpretasi, dan historiografi atau menulis cerita sejarah itu. Tapi
disini saya tidak akan membahas tentang metode sejarah, mungkin di lain waktu
akan saya bahas secara lebih mendetail.
Pertanyaan pertama di atas akan
menimbulkan sebuah pertanyaan berantai berikutnya yaitu apakah cerita sejarah
itu benar adanya atau hanya khayalan-khayalan si penulis sejarah itu saja?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita terlebih dahulu harus memahami tentang
subjektifitas dan objektifitas dari sejarah itu sendiri. Sejarah merupakan ilmu
yang unik karena karyanya dalam hal ini tulisan sejarahnya banyak diperdebatkan
tentang “keasliannya", baik dari kalangan di luar sejarawan, maupun
sejarawan sendiri. Subjektifitas dan objektifitas memang selalu ada dalam setiap
ilmu pengetahuan, namun perdebatannya tidak serumit dalam ilmu sejarah. Perdebatan
diantara para sejarawan tentang subjektifitas dan objektifitas sejarah ini ada
setelah munculnya paham Neo-Kantian pada awal abad ke 20 yang sangat
memperhatikan nilai-nilai dalam pembuatan gambaran sejarah. Pada awal abad
ke-20 sejarawan akhirnya terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang
menganggap bahwa sejarah itu subjektif, dan kelompok yang menganggap bahwa
sejarah itu bisa menjadi objektif. Pada tulisan ini saya akan mencoba membahas
tentang pandangan-pandangan para sejarawan mengenai subjektifitas dan
objektifitas sejarah. Memang
Sebelum membahas tentang
subjektifitas dan objektifitas lebih mendalam, terlebih dahulu seharusnya kita
memahami apa itu subjektif dan apa itu objektif. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, subjektif adalah pandangan atau perasaan yang timbul pada diri
sendiri mengenai sesuatu, sedangkan objektif mempunyai arti keadaan yang
sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi. Berdasarkan
penjelasan tersebut cukup jelas terlihat perbedaan diantara keduanya. Berkaitan
dengan subjektifitas dan objektifitas dalam ilmu sejarah, Mayenhorf (1959)
berpendapat bahwa subjektifitas dan objektifitas sejarah berkaitan dengan
perasaan pribadi, nilai-nilai, dan etika yang dimiliki oleh penulis. Sejarah
dikatakan subjektif apabila di dalam menuliskan ceritera sejarah, seorang
sejarawaan memasukkan perasaan pribadi ataupun nilai-nilai yang dianutnya ke
dalam cerita sejarah dengan porsi yang cukup banyak, sehingga membuat ceritera
sejarah itu tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya berdasarkan fakta-fakta
yang ada, melainkan kental akan unsur kepentingan dari penulis. Sejarah dikatakan
objektif apabila di dalam menuliskan cerita sejarah, seorang sejarawan tidak
memasukkan perasaan pribadi dan nilai-nilai yang dianutnya ke dalam cerita
sejarah yang dibangunnya, sehingga cerita sejarah tersebut terbangun sesuai
dengan fakta-fakta yang ada. Mungkin setelah membaca penjelasan ini timbul pertanyaan
kembali, apakah mungkin cerita sejarah itu dibangun tanpa adanya subjektifitas
dari penulis? Untuk menjawab hal itu, dibawah ini akan saya bahas tentang
pandangan-pandangan sejarawan mengenai sejarah itu bersifat subjektif atau
bersifat objektif.
Subjektifitas memang sudah melekat
dalam penulisan sejarah, bahkan mungkin tidak bisa dipisahkan dari penulisan
sejarah. Fransesco Patrizi pada abad ke-16 menengarai bahwa selalu terdapat
pengaruh nilai-nilai dari penulis dalam gambaran sejarah. Setiap sejarawan menulis mengenai peristiwa-peristiwa yang
dialami sendiri dalam kalangan penguasa untuk mendukung kepentingan para
penguasa
atau negarawan sendiri.
Secara umum ada kesepakatan dikalangan sejarawan bahwa objektivitaas sejarah
harus diupayakan sebisa mungkin.
Perdebatan panjang telah terjadi diantara kaum subjektivis dan kaum objektivis
mengenai sejarah yang objektif. Menurut kaum subjektivis, sejarah yang objektif
adalah imposible atau sebuah ketidakmungkinan untuk dapat diwujudkan. Sedangkan
menurut kaum objektivis, sejarah yang objektiv adalah possible atau mungkin
untuk diwujudkan. Berikut ini argumen dari kaum subjektivis dan objektivis
tentang penulisan sejarah.
Menurut kaum subjektivis ada
beberapa alasan bahwa sejarah itu selalu bersifat subjektif, dan sejarah yang
berifat objektif itu sendiri tidak bisa diwujudkan.
1 ) Alasan Induksi
Tokohnya
adalah G. Myradal. Myradal menyatakan bahwa penulisan sejarah selalu bersifat
subjektif. Setiap kajian dari masa manapun, baik dari massa silam, massa
sekarang, maupun depat pasti selalu subjektif. Subjektifitas dalam setiap karya
tidak dapat dielakkan.
2) Alasan Relativisme
Tokohnya
adalah C.H Beard dan J. Romero. Mereka berpandangan bahwa sejarah itu dibagi
menjadi beberapa bagian, yaitu massa silam itu sendiri (peristiwa), peninggalan
massa silam (dokumen atau artefak), dan gambaran massa silam. Dengan bertolak
dari pembedaan ini, mereka berpandangan bahwa sejarah bersifat subjektif karena
peralihan dari masa silam kepada dokumen sudah melalui tahap seleksi oleh
orang-orang sejaman mengenai apa yang dianggap penting untuk dicatat. Meski
melalui sikap kritis, subjektivitas laporan masa silam dapat diatasi,
subjektivitas pada tataran peralihan dari peninggalan masa silam ke gambaran mengenai masa silam sulit
dielakkan. Ada tiga macam
subjektivitas menurut pandangan ini yaitu nilai-nilai atau pendapat-pendapat
pribadi sejarawan, orientasi sejarawan pada kelompok social-kultural atau politik tertentu,
dan subjektivitas waktu (sejarawan adalah anak jamannya). Terutama
subjektivitas waktu adalah hal mustahil ditinggalkan.
Mereka mengandaikan sejarah itu ditulis
seperti orang yang mengambil air dengan menggunakan ember di tempat yang jauh
bahkan sangat jauh. Orang itu berjalan jauh melalui jalan-jalan yang panjang
dan sulit. Sesampainya di tempat tujuan, orang itu mengambil sebanyak-banyaknya
air hingga ember itu penuh. Permasalahannya adalah ketika dia kembali menuju
tempat asalnya maka pasti dalam perjalanan air itu sedikit demi sedikit tumpah,
belum lagi ketika dia haus, dia harus meminumnya meskipun sedikit. Setelah
sampai di tempat asalnya, air tadi akan dibawa kembali oleh orang lain ke
tempat asalnya, yang pasti dengan proses yang sama, dan begitu seterusnya.
Berdasarkan perumpamaan itu dapat kita
tafsirkan bahwa air itu adalah peristiwa sejarah, dimana sejarawan akan
berjalan jauh untuk mencari peristiwa sejarah itu dengan segala kesulitannya,
dalam menuliskan kembali peristiwa sejarah itu, pasti ada bukti-bukti yang
dikumpulkannya tidak lengkap karena sudah jatuh dan disesuaikan dengan
kebutuhannya. Begitu seterusnya dengan penulis sejarah berikutnya. Jadi hal
itulah yang membuat sejarah dipandang akan selalu subjektif, dan sejarah yang
objektif adalah tidak mungkin.
3) Alasan
Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh penulis atau
sejarawan merupakan istilah-ungkapan yang mengandung penilaian atau
mempunyai konotasi makna tertentu sehingga narasi yang tersusun akhirnya juga
bersifat subjektif. Misal
saja adalah mati / meninggal / wafat / tewas, pemberontak / teroris / pejuang. Penggunaan bahasa atau istilah ini
tentu berdasarkan pandangan dari pada sejarawan itu sendiri dan diyakini
bersifat subjektif. Namun beberapa ahli seperti L. Straus dan AR
Louch menentang pendapat
ini. Bagi mereka penggunaan ungkapan evaluatif merupakan keharusan terutama
saat menelaah hal-hal yang
bersifat nasionalis, dimana bahasa atau istilah yang dipakai digunakan untuk
kebaikan suatu bangsa. Dalam konteks ini subjektivitas merupakan suatu
factor yang pantas dicita-citakan.
3) Alasan
Idealistis
Menurut aliran ini kenyataan merupakan
hasil budi manusia. Kenyataan
hanya ada sejauh kita berpikir atau menyadari kenyataan itu sendiri. Berkeley berkata “To be is to be perceived”. Budi manusia merupakan objek penelitian sejarah (kenyataan sejarah
yang diciptakan budi manusia) dan sekaligus subjek penelitian sejarah (pikiran
sejarawan mengenai masa silam). Karena subjek dan objek identik sama, antara
subjek dan objek tak dapat dipisahkan. Sejarawan tidak akan pernah dapat
menulis sejarah objektif karena objektivitas mengandaikan pemisahan antara
subjek yang mengetaui dan objek yang diketahui.
5) Alasan Marxis
Kaum marxis berpendapat bahwa tidak mungkin memisahkan antara subjek yang mengenai
dan objek yang dikenal. Bagi Kaum marxis pengetahuan kita selalu berakar
pada pergaulan kita dengan kenyataan. Kenyataan historis bukanlah pasif berhadapan dengan peneliti, melainkan
kenyataan yang bereaksi terhadap sentuhan penelitian kita (analogi, sifat
dari kayu, baru tampak bila kayu itu
dikerjakan oleh tukang yang mengerjakannya). Tujuan yang dianut subjek
atau sejarawan menentukan bagaimana
kenyataan menampakkan diri.
Karena subjek dan objek tidak dapat dipishkan, maka tidak juga mungkin menulis
sejarah secara objektif.
Berbeda pandangan
dengan kaum subjektivis, kaum objketivis mempunyai alasan tersendiri dimana
mereka masih berkeyakinan bahwa sejarah yang objektif adalah mungkin dan dapat
diperjuangkan. Kebanyakan kaum objektivis berkembang di Inggris dimana pada
saat itu berkembang pendekatan positivis sejarah. Ada beberapa alasan yang
mereka kemukakan, yang diantaranya adalah:
1) Alasan Pemilihan Objek
Sejarawan
dikatakan bersifat subjektif ketika memilih objek penelitiannya karena alasan
kesukaan pribadi. Namun Mereka
berpendapat bahwa sekalipun pilihan bahan bersifat subjektif, tidak berarti
hasilnya akan subjektif. Hal serupa terjadi dalam sains dimana pilihan
subjektif tidak mempengaruhi hasil penelitian.
2)
Alasan Muatan Nilai dalam Perbuatan Manusia
Menurut kaum subjektif sejarawan bersikap subjektif karena bahan yang
diteliti adalah perbuatan manusia masa silam yang selalu diresapi nilai-nilai.
Menurut kaum objektivis perlu
dibedakan antara nilai-nilai sejarawan dengan nilai-nilai yang berlaku pada
masa silam. Sejarah ditulis secara objektif bila perbuatan pelaku sejarah
dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat pada zamannya.
Subjektifitas baru akan muncul jika sejarawan menuliskan sejarah itu dengan
berdasar pada nilai-nilai yang dianut oleh sejarawan itu sendiri. Misalnya saja
adalah menulis tentang kasus bunuh diri ala Jepang atau lebih dikenal dengan harakiri, seorang sejarawan untuk
mendapatkan tulisan yang objektif makana menuliskan tentang harakiri haruslah dengan perspektif dari
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Jepang, jika sejarawan menuliskannya
dengan perspektif Islam misalnya, maka sejarawan itu sudah bisa dikatakan
subjektif karena memandang suatu peristiwa bukan berdasar nilai yang sesuai
dengan peristiwa pada zaman itu, tapi berdasar nilai-nilai yang diyakini oleh
sejarawan itu sendiri.
3)
Alasan Seleksi
Sejarawan sering
dipersalahkan bertindak subjektif karena mereka menyeleksi bahan, memilih apa
yang disebut dan dilewatkan dalam narasinya tentang masa silam. Kaum
objektivis menyanggah pernyataan ini, menurut mereka sejarawan tidak mungkin menyajikan gambaran sejarah dalam segala kompleksitasnya.
Pelewatan bahan-bahan tertentu tidak selalu berarti subjektif. Ketidaklengkapan uraian historis tidak berarti subjektif. Dalam sains tidak segala data juga selalu disebut secara
lengkap atau detil. Tapi dapat mengandalkan pola-pola tertentu untuk menyisihkan apa yang penting dan tidak.
4)
Alasan Antiskeptisisme dan Antirelativisme
Bertolak dari pandangan skeptisisme dan relativisme yang menyatakan bahwa semua tulisan sejarah relative
terpengaruh nilai-nilai. Bagi kaum objektivis, pandangan ini harus dibuktikan
dengan menunjukkan nilai-nilai mana yang berpengaruh dalam penulisan sejarah. Bila nilai-nilai tersebut dapat ditunjukkan, maka
akan dapat pula disingkirkan. Dengan kata lain, kaun skeptisis relativis harus menerima kemungkinan untuk menulis
sejarah yang lepas dari pengaruh nilai. Sejarawan dikritik subjektif karena menjelaskan masa silam berdasar
nilai-nilai yang dianut serta keadaan histories ketika penulisan berlangsung.
Bagi kaum objektivis, hal ini ticlak serta merta menggugurkan objektivistas
sejarah. Benar-tidaknya pandangan sejarawan bare dapat diuji tatkala pengarang
menyebut alasan-alasan yang menclukung pendapatnya. Baru bila alasan-alasan tersebut
tidak tahan uji, pendapat dapat ditolak objektivitasnya.
5)
Alasan analogi.
Sebagaimana objektivitas dalam sains adalah mungkin, peluang serupa dalam
sejarah bagi kaum ojektivis juga merupakan suatu kemungkinan yang tidak
terbantahkan. Tolok ukur untuk menetapkan kadar objektivitas dalam sains juga berlaku
dalam pengkajian sejarah
Itulah beberapa alasan
baik dari kaum subjektivis maupun dari kaum objektivis. Perbedaan pandangan keduanya
memang menjadi sebuah perdebatan panjang hingga sekarang. Pada beberapa dekade
kemudian muncullah kaum yang menengai perbedaan pandangan tersebut yang biasa
disebut kaum jalan tengah atau middle
way. Tokohnya adalah Walsh dan Danto
Menurut walsh, gambaran
sejarah yang berbeda atas bahan yang sama perlu diterima sebagai saling
melengkapi. Nilai dan pandangan hidup yang mengilhami sejarawan
harus dipandang sebagai titik sudut yang dipakai masing masing sejarawan dalam
pendekatannya terhadap masa silam (perspektif Islam, Kristiani, marxis, kapitalis, nasionalis,
dsb), Walsh menyebutnya teori perspektivis.
Bagi Danto, kenyataan bahwa
tafsir yang berbeda-beda atas masa silam karena sudut pandang yang berlainan
dalam melihat masa silam, belum merupakan alasan untuk menyangsikan kemungkinan
melakukan penelitian sejarah yang objektif. Berdasarkan hal ini,
tentunya kita sebagai sejarawan modern telah sepatutnya untuk menjadikan
perbedaan pandangan tersebut sebagai khazanah penambah wawasan keilmuan
penulisan sejarah sendiri, dan untuk penulisan sejarah masa sekarang yang kebanyakan
sudah menganut pandangan dari kaum jalan tengah sepatutnya kita ikuti agar
tulisan sejarah yang ditulis setida-tidaknya mampu mendekati ke arah
objektivitas.
Sumber
penulisan artikel ini sepenuhnya diambil dari buku Hans Meyerhof (ed.). 1959. The
Philosophy of History in Our Time. New York: Doubleday Anchor.
Serta
penjelasan dari Prof. Nawiyanto, P.hD pada saat perkuliahan Filsafat Sejarah
dan Historiografi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar