Senin, 22 Mei 2017

SUBJEKTIVITAS DAN OBJEKTIFITAS SEJARAH

SEJARAH ADALAH GURU TERBAIK DALAM HIDUP
oleh: Arief Muhammad Ramdhani



SUBJEKTIVITAS DAN OBJEKTIFITAS SEJARAH
            Sejarah adalah ilmu yang mempelajari tentang peristiwa-peristiwa masa lalu yang benar-benar terjadi mengenai segala aktivitas manusia di muka bumi. Objek utama kajian ilmu sejarah adalah aktivitas manusia di masa lampau. Dalam mempelajari ilmu sejarah ini tentunya harus membaca tulisan-tulisan sejarah yang ditulis oleh sejarawan. Mengenai tulisan sejarah itu, mungkin banyak orang awam akan bertanya bagaimana bisa peristiwa yang sudah terjadi bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad yang lalu dapat diketahui dan dituliskan kembali menjadi sebuah referensi ilmiah? Jawabannya tentu adalah sederhana, peristiwa sejarah itu meninggalkan bukti-bukti atau fakta-fakta yang dapat berupa berbagai macam bentuk, semisal dokumen, artefak, cerita lisan, dan sebagainya. Fakta-fakta itu kemudian dikonstruksi oleh sejarawan untuk menjadi sebuah cerita sejarah dengan menggunakan metode sejarah. Metode sejarah sendiri secara garis besar menurut Kuntowijoyo dapat dibagi menjadi lima tahapan yaitu menentukan tema, mencari sumber, melakukan kritik, interpretasi, dan historiografi atau menulis cerita sejarah itu. Tapi disini saya tidak akan membahas tentang metode sejarah, mungkin di lain waktu akan saya bahas secara lebih mendetail.
            Pertanyaan pertama di atas akan menimbulkan sebuah pertanyaan berantai berikutnya yaitu apakah cerita sejarah itu benar adanya atau hanya khayalan-khayalan si penulis sejarah itu saja? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita terlebih dahulu harus memahami tentang subjektifitas dan objektifitas dari sejarah itu sendiri. Sejarah merupakan ilmu yang unik karena karyanya dalam hal ini tulisan sejarahnya banyak diperdebatkan tentang “keasliannya", baik dari kalangan di luar sejarawan, maupun sejarawan sendiri. Subjektifitas dan objektifitas memang selalu ada dalam setiap ilmu pengetahuan, namun perdebatannya tidak serumit dalam ilmu sejarah. Perdebatan diantara para sejarawan tentang subjektifitas dan objektifitas sejarah ini ada setelah munculnya paham Neo-Kantian pada awal abad ke 20 yang sangat memperhatikan nilai-nilai dalam pembuatan gambaran sejarah. Pada awal abad ke-20 sejarawan akhirnya terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menganggap bahwa sejarah itu subjektif, dan kelompok yang menganggap bahwa sejarah itu bisa menjadi objektif. Pada tulisan ini saya akan mencoba membahas tentang pandangan-pandangan para sejarawan mengenai subjektifitas dan objektifitas sejarah. Memang
            Sebelum membahas tentang subjektifitas dan objektifitas lebih mendalam, terlebih dahulu seharusnya kita memahami apa itu subjektif dan apa itu objektif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, subjektif adalah pandangan atau perasaan yang timbul pada diri sendiri mengenai sesuatu, sedangkan objektif mempunyai arti keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi. Berdasarkan penjelasan tersebut cukup jelas terlihat perbedaan diantara keduanya. Berkaitan dengan subjektifitas dan objektifitas dalam ilmu sejarah, Mayenhorf (1959) berpendapat bahwa subjektifitas dan objektifitas sejarah berkaitan dengan perasaan pribadi, nilai-nilai, dan etika yang dimiliki oleh penulis. Sejarah dikatakan subjektif apabila di dalam menuliskan ceritera sejarah, seorang sejarawaan memasukkan perasaan pribadi ataupun nilai-nilai yang dianutnya ke dalam cerita sejarah dengan porsi yang cukup banyak, sehingga membuat ceritera sejarah itu tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya berdasarkan fakta-fakta yang ada, melainkan kental akan unsur kepentingan dari penulis. Sejarah dikatakan objektif apabila di dalam menuliskan cerita sejarah, seorang sejarawan tidak memasukkan perasaan pribadi dan nilai-nilai yang dianutnya ke dalam cerita sejarah yang dibangunnya, sehingga cerita sejarah tersebut terbangun sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Mungkin setelah membaca penjelasan ini timbul pertanyaan kembali, apakah mungkin cerita sejarah itu dibangun tanpa adanya subjektifitas dari penulis? Untuk menjawab hal itu, dibawah ini akan saya bahas tentang pandangan-pandangan sejarawan mengenai sejarah itu bersifat subjektif atau bersifat objektif.
            Subjektifitas memang sudah melekat dalam penulisan sejarah, bahkan mungkin tidak bisa dipisahkan dari penulisan sejarah. Fransesco Patrizi pada abad ke-16 menengarai bahwa selalu terdapat pengaruh nilai-nilai dari penulis dalam gambaran sejarah. Setiap sejarawan menulis mengenai peristiwa-peristiwa yang dialami sendiri dalam kalangan penguasa untuk mendukung kepentingan para penguasa atau negarawan sendiri. Secara umum ada kesepakatan dikalangan  sejarawan bahwa objektivitaas sejarah harus diupayakan sebisa mungkin. Perdebatan panjang telah terjadi diantara kaum subjektivis dan kaum objektivis mengenai sejarah yang objektif. Menurut kaum subjektivis, sejarah yang objektif adalah imposible atau sebuah ketidakmungkinan untuk dapat diwujudkan. Sedangkan menurut kaum objektivis, sejarah yang objektiv adalah possible atau mungkin untuk diwujudkan. Berikut ini argumen dari kaum subjektivis dan objektivis tentang penulisan sejarah.
            Menurut kaum subjektivis ada beberapa alasan bahwa sejarah itu selalu bersifat subjektif, dan sejarah yang berifat objektif itu sendiri tidak bisa diwujudkan.
1 )   Alasan Induksi
 Tokohnya adalah G. Myradal. Myradal menyatakan bahwa penulisan sejarah selalu bersifat subjektif. Setiap kajian dari masa manapun, baik dari massa silam, massa sekarang, maupun depat pasti selalu subjektif. Subjektifitas dalam setiap karya tidak dapat dielakkan.
2)  Alasan Relativisme
Tokohnya adalah C.H Beard dan J. Romero. Mereka berpandangan bahwa sejarah itu dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu massa silam itu sendiri (peristiwa), peninggalan massa silam (dokumen atau artefak), dan gambaran massa silam. Dengan bertolak dari pembedaan ini, mereka berpandangan bahwa sejarah bersifat subjektif karena peralihan dari masa silam kepada dokumen sudah melalui tahap seleksi oleh orang-orang sejaman mengenai apa yang dianggap penting untuk dicatat. Meski melalui sikap kritis, subjektivitas laporan masa silam dapat diatasi, subjektivitas pada tataran peralihan dari peninggalan masa silam ke gambaran mengenai masa silam sulit dielakkan. Ada tiga macam subjektivitas menurut pandangan ini yaitu nilai-nilai atau pendapat-pendapat pribadi sejarawan, orientasi sejarawan pada kelompok social-kultural atau politik tertentu, dan subjektivitas waktu (sejarawan adalah anak jamannya). Terutama subjektivitas waktu adalah hal mustahil ditinggalkan.
Mereka mengandaikan sejarah itu ditulis seperti orang yang mengambil air dengan menggunakan ember di tempat yang jauh bahkan sangat jauh. Orang itu berjalan jauh melalui jalan-jalan yang panjang dan sulit. Sesampainya di tempat tujuan, orang itu mengambil sebanyak-banyaknya air hingga ember itu penuh. Permasalahannya adalah ketika dia kembali menuju tempat asalnya maka pasti dalam perjalanan air itu sedikit demi sedikit tumpah, belum lagi ketika dia haus, dia harus meminumnya meskipun sedikit. Setelah sampai di tempat asalnya, air tadi akan dibawa kembali oleh orang lain ke tempat asalnya, yang pasti dengan proses yang sama, dan begitu seterusnya.
Berdasarkan perumpamaan itu dapat kita tafsirkan bahwa air itu adalah peristiwa sejarah, dimana sejarawan akan berjalan jauh untuk mencari peristiwa sejarah itu dengan segala kesulitannya, dalam menuliskan kembali peristiwa sejarah itu, pasti ada bukti-bukti yang dikumpulkannya tidak lengkap karena sudah jatuh dan disesuaikan dengan kebutuhannya. Begitu seterusnya dengan penulis sejarah berikutnya. Jadi hal itulah yang membuat sejarah dipandang akan selalu subjektif, dan sejarah yang objektif adalah tidak mungkin.
3)  Alasan Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh penulis atau sejarawan merupakan istilah-ungkapan yang mengandung penilaian atau mempunyai konotasi makna tertentu sehingga narasi yang tersusun akhirnya juga bersifat subjektif. Misal saja adalah mati / meninggal / wafat / tewas, pemberontak / teroris / pejuang. Penggunaan bahasa atau istilah ini tentu berdasarkan pandangan dari pada sejarawan itu sendiri dan diyakini bersifat subjektif. Namun beberapa ahli seperti L. Straus dan AR Louch menentang pendapat ini. Bagi mereka penggunaan ungkapan evaluatif merupakan keharusan terutama saat menelaah hal-hal yang bersifat nasionalis, dimana bahasa atau istilah yang dipakai digunakan untuk kebaikan suatu bangsa. Dalam konteks ini subjektivitas merupakan suatu factor yang pantas dicita-citakan.
3) Alasan Idealistis
Menurut aliran ini kenyataan merupakan hasil budi manusia. Kenyataan hanya ada sejauh kita berpikir atau menyadari kenyataan itu sendiri. Berkeley berkata To be is to be perceived. Budi manusia merupakan objek penelitian sejarah (kenyataan sejarah yang diciptakan budi manusia) dan sekaligus subjek penelitian sejarah (pikiran sejarawan mengenai masa silam). Karena subjek dan objek identik sama, antara subjek dan objek tak dapat dipisahkan. Sejarawan tidak akan pernah dapat menulis sejarah objektif karena objektivitas mengandaikan pemisahan antara subjek yang mengetaui dan objek yang diketahui.
5) Alasan Marxis
Kaum marxis  berpendapat bahwa tidak mungkin memisahkan antara subjek yang mengenai dan objek yang dikenal.  Bagi Kaum marxis pengetahuan kita selalu berakar pada pergaulan kita dengan kenyataan. Kenyataan historis bukanlah pasif berhadapan dengan peneliti, melainkan kenyataan yang bereaksi terhadap sentuhan penelitian kita (analogi, sifat dari kayu, baru tampak bila kayu itu dikerjakan oleh tukang yang mengerjakannya). Tujuan yang dianut subjek atau sejarawan menentukan bagaimana kenyataan menampakkan diri. Karena subjek dan objek tidak dapat dipishkan, maka tidak juga mungkin menulis sejarah secara objektif.

Berbeda pandangan dengan kaum subjektivis, kaum objketivis mempunyai alasan tersendiri dimana mereka masih berkeyakinan bahwa sejarah yang objektif adalah mungkin dan dapat diperjuangkan. Kebanyakan kaum objektivis berkembang di Inggris dimana pada saat itu berkembang pendekatan positivis sejarah. Ada beberapa alasan yang mereka kemukakan, yang diantaranya adalah:

1)  Alasan Pemilihan Objek
Sejarawan dikatakan bersifat subjektif ketika memilih objek penelitiannya karena alasan kesukaan pribadi. Namun Mereka berpendapat bahwa sekalipun pilihan bahan bersifat subjektif, tidak berarti hasilnya akan subjektif. Hal serupa terjadi dalam sains dimana pilihan subjektif tidak mempengaruhi hasil penelitian.
2)        Alasan Muatan Nilai dalam Perbuatan Manusia
Menurut kaum subjektif sejarawan bersikap subjektif karena bahan yang diteliti adalah perbuatan manusia masa silam yang selalu diresapi nilai-nilai. Menurut kaum objektivis perlu dibedakan antara nilai-nilai sejarawan dengan nilai-nilai yang berlaku pada masa silam. Sejarah ditulis secara objektif bila perbuatan pelaku sejarah dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat pada zamannya. Subjektifitas baru akan muncul jika sejarawan menuliskan sejarah itu dengan berdasar pada nilai-nilai yang dianut oleh sejarawan itu sendiri. Misalnya saja adalah menulis tentang kasus bunuh diri ala Jepang atau lebih dikenal dengan harakiri, seorang sejarawan untuk mendapatkan tulisan yang objektif makana menuliskan tentang harakiri haruslah dengan perspektif dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Jepang, jika sejarawan menuliskannya dengan perspektif Islam misalnya, maka sejarawan itu sudah bisa dikatakan subjektif karena memandang suatu peristiwa bukan berdasar nilai yang sesuai dengan peristiwa pada zaman itu, tapi berdasar nilai-nilai yang diyakini oleh sejarawan itu sendiri.
3)        Alasan Seleksi
Sejarawan sering dipersalahkan bertindak subjektif karena mereka menyeleksi bahan, memilih apa yang disebut dan dilewatkan dalam narasinya tentang masa silam. Kaum objektivis menyanggah pernyataan ini, menurut mereka sejarawan tidak mungkin menyajikan gambaran sejarah dalam segala kompleksitasnya. Pelewatan bahan-bahan tertentu tidak selalu berarti subjektif. Ketidaklengkapan uraian historis tidak berarti subjektif. Dalam sains tidak segala data juga selalu disebut secara lengkap atau detil. Tapi dapat mengandalkan pola-pola tertentu untuk menyisihkan apa yang penting dan tidak.
4)        Alasan Antiskeptisisme dan Antirelativisme
Bertolak dari pandangan skeptisisme dan relativisme yang menyatakan bahwa semua tulisan sejarah relative terpengaruh nilai-nilai. Bagi kaum objektivis, pandangan ini harus dibuktikan dengan menunjukkan nilai-nilai mana yang berpengaruh dalam penulisan sejarah. Bila nilai-nilai tersebut dapat ditunjukkan, maka akan dapat pula disingkirkan. Dengan kata lain, kaun skeptisis relativis harus menerima kemungkinan untuk menulis sejarah yang lepas dari pengaruh nilai. Sejarawan dikritik subjektif karena menjelaskan masa silam berdasar nilai-nilai yang dianut serta keadaan histories ketika penulisan berlangsung. Bagi kaum objektivis, hal ini ticlak serta merta menggugurkan objektivistas sejarah. Benar-tidaknya pandangan sejarawan bare dapat diuji tatkala pengarang menyebut alasan-alasan yang menclukung pendapatnya. Baru bila alasan-alasan tersebut tidak tahan uji, pendapat dapat ditolak objektivitasnya.
5)        Alasan analogi.
Sebagaimana objektivitas dalam sains adalah mungkin, peluang serupa dalam sejarah bagi kaum ojektivis juga merupakan suatu kemungkinan yang tidak terbantahkan. Tolok ukur untuk menetapkan kadar objektivitas dalam sains juga berlaku dalam pengkajian sejarah

Itulah beberapa alasan baik dari kaum subjektivis maupun dari kaum objektivis. Perbedaan pandangan keduanya memang menjadi sebuah perdebatan panjang hingga sekarang. Pada beberapa dekade kemudian muncullah kaum yang menengai perbedaan pandangan tersebut yang biasa disebut kaum jalan tengah atau middle way. Tokohnya adalah Walsh dan Danto  Menurut walsh, gambaran sejarah yang berbeda atas bahan yang sama perlu diterima sebagai saling melengkapi.  Nilai dan pandangan hidup yang mengilhami sejarawan harus dipandang sebagai titik sudut yang dipakai masing­ masing sejarawan dalam pendekatannya terhadap masa silam (perspektif Islam, Kristiani, marxis, kapitalis, nasionalis, dsb), Walsh menyebutnya teori perspektivis. Bagi Danto, kenyataan bahwa tafsir yang berbeda-beda atas masa silam karena sudut pandang yang berlainan dalam melihat masa silam, belum merupakan alasan untuk menyangsikan kemungkinan melakukan penelitian sejarah yang objektif. Berdasarkan hal ini, tentunya kita sebagai sejarawan modern telah sepatutnya untuk menjadikan perbedaan pandangan tersebut sebagai khazanah penambah wawasan keilmuan penulisan sejarah sendiri, dan untuk penulisan sejarah masa sekarang yang kebanyakan sudah menganut pandangan dari kaum jalan tengah sepatutnya kita ikuti agar tulisan sejarah yang ditulis setida-tidaknya mampu mendekati ke arah objektivitas.

Sumber penulisan artikel ini sepenuhnya diambil dari buku Hans Meyerhof (ed.). 1959. The Philosophy of History in Our Time. New York: Doubleday Anchor.
Serta penjelasan dari Prof. Nawiyanto, P.hD pada saat perkuliahan Filsafat Sejarah dan Historiografi.





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar