George Wilhelm Friedrich Hegel adalah seorang tokoh
besar dalam idealisme Jerman. Ia merupakan salah satu tokoh filsafat spekulatif
yang terkenal. Hegel dilahirkan di Stuttgart, Jerman pada tahun 1770. Ia
belajar filsafat dan teologi di Tubingen. Kemudian ia menjadi seorang dosen
pribadi di Jena. Setelah itu baru ia menjadi dosen filsafat. Pada saat Jena
dikuasai oleh Napoleon dalam pertempuran di Jena itu, Hegel pergi ke Nuremberg.
Sehari sebelum pertempuran di Jena, ia menyatakan bahwa ia telah menyelesaikan
karyanya yang berjudul “Phenomenology of
Mind”. Setelah itu ia menjadi profesor di Heidelberg (1816-1818) dan
kemudian pindah ke berlin sampai ia meninggal.
Dalam
kehidupan masa mudanya, ia tertarik dengan “mistisisme” dan pandangannya
sedikit banyak sebagai intelektualisasi terhadap apa yang mulanya tampak pada
wawasan mistik. Dari minat awalnya terhadap mistisisme, ia mempertahankan
keyakinan kepada ketidaknyataan bagian dunia dalam pandangannya, bukan kumpulan
unit keras entah atom atau jiwa yang masing-masing berdiri sendiri. Kemandirian
benda yang terbatas dan tampak jelas itu dianggapnya sebagai sebuah ilusi, dia
berkata “tiada yang sungguh nyata kecuali “”keseluruhan””, bukan sebgai
substansi sederhana melainkan sebagai sejenis sistem rumit yang sebaiknya
disebut organisme. Benda-benda di dunia ini yang tampak jelas terpisah yang
menyusun dunia ini bukanlah sekedar ilusi, melainkan masing masing memiliki
tingkat realitas yang lebih besar atau lebih kecil dan realitas tersebut
tercapai lantaran suatu aspek dari “keseluruhan” yang akan terlihat jika
dipandang dengan benar (Russel, 2007:952).
Hegel
menegaskan bahwa yang nyata adalah rasional dan yang rasional adalah yang
nyata. Tetapi ketika ia mengatakan hal ini ia tidak memaksudkan “yang nyata”
itu sebagai apa yang menurut para empirisis dipandang nyata. Ia mengakui,
bahkan meyakinkan, bahwa apa yang bagi empirisis terlihat sebagai fakta baginya
adalah tidak rasional, baru ketika karakter yang terlihat pada fakta itu dijelmakan
dengan memandang karakter-karakter itu sebagai aspek-aspek dari keseluruhan
barulah fakta itu terlihat rasional. Meskipun begitu, identifikasi terhadap
yang nyata dan yang rasional itu tetntu menimbulkan beberapa kepuasan yang tak
bisa dipisahkan dari keyakinan bahwa”apa saja yang berada adalah yang benar”.
“keseluruhan” itu, dengan segala kerumitannya, oleh Hegel disebut “yang
Mutlak”. Terdapat dua hal yang membedakan Hegel berebeda dengan orang-orang
yang memiliki pandangan metafisis yang kurang lebih mirip dengannya. Salah
satunya adalah penekanannya pada logika atau akal, Hegel memandang bahwa
hakikat realitas bisa dideduksi dari pertimbangan tunggal bahwa realitas
seharusnya tidak kontradiktif diri. Kemudian corak pembeda lainnya adalah
gerakan tri tunggal yang disebut “dialektik” (Russel, 2007:953).
Berikut
ini merupakan pembahasan mengenai tiga pertanyaan khusus dalam filsafat
spekulatif yaitu tentang irama atau pola gerak sejarah kemudian tentang motor
penggerak sejarah itu serta yang terahir yaitu tentang tujuan dari proses
sejarah itu. Tentunya pembahasan dibawah ini berdasarkan filsafat dari George
Wilhelm Friedrich Hegel.
1.
Pola atau Irama sejarah menurut Hegel
Dalam
filsafat sejarah Hegel, ia mengemukakan bahwa proses sejarah merupakan suatu perwujudan
dari akal. Dalam filsafatnya, Hegel mengemukakan tentang “dialektisitas” atau
skema dialektis yang kemudian dapat kita simpulkan sebagai pola atau irama
gerak sejarah menurut Hegel ini sendiri.
Dialektika
atau dialektis merupakan susunan logis yang menunjukkan bagaimana dalam
perkembangan proses sejarah itu identifikasi diri roh atau budi terjadi.
Dialektika Hegel bukanlah suatu dialektika yang terwujud dalam
ungkapan-ungkapan melainkan dalam pengertian konsep-konsep sebagai sarana yang
membantu kita bila berbicara mengenai kenyataan. Dasar dari dialektika Hegel
ini ialah penyangkalan dari setiap penegasan, yaitu setiap kali kita mengatakan
sesuatu mengenai sebuah hal, kita sekaligus mengatakan barang itu bukan ini
atau itu misalnya saja “mesin tik ini adalah alat untuk mengetik huruf huruf,
jadi bukan alat untuk menghitung”. Gagasan ini diterapkan Hegel pada konsep
konsep seperti contoh tersebut. Setiap konsep menimbulkan konsep yang
berlawanan, setiap pengertian seolah olah tercermin dalam lawannya. Kunci dari
dialektika Hegel ini adalah ialah konsep itu memperhalus pengertian mengenai
dirinya karena bercermin pada Anderseinnya
dan dengan demikian konsep yang pertama itu dapat diperbaiki. Hegel dalam
dialektikanya selalu secara positif berbicara mengenai negasi atau
penyangkalan, sedangkan kepositifan sebaliknya menunjukkan tak adanya
perkembangan, kemandegan menjadi beku dan fosil (Ankersmit, 1987:28).
Hegel
mengawali proses dialektikanya dengan konsep yang paling abstrak yaitu “yang
ada”. Sebagai pengertian umum “yang ada” ini harus dirumuskan lepas dari segala
isi yang kongkrit. Ia adalah yang ada tanpa tambahan apapun. Oleh karenanya
tidak mengungkapkan isi apapun dan tidak dirumuskan bagaimana. Hal ini disebut
“tesis”. Dari tesis ini melahirkan “antitesis”. Sepanjang “yang ada” belum
menerima penentuan lebih lanjut, belum dapat dikatakan bagaimana “yang ada” ini
sama dengan “yang tidak ada”. Oleh karena itu sebagai hal yang tidak dapat
dirumuskan bagaimana, “yang ada” itu sekaligus “yang tidak ada” yang berarti
segi negatif dari “yang ada”. Demikianlah “yang ada” dan “yang tidak ada”
mewujudkan dua ungkapan yang saling melengkapi bagi hal yang satu, yaitu “awal
yang tidak dapat ditentukan bagaimana” itu adalah gerak, yaitu gerak yang
memindahkan yang satu kepada yang lain, yang memindahkan “yang tidak ada”
menjadi “yang ada”. Gerak dari “yang tidak ada” menuju “yang ada” ini disebut
“menjadi” (Hadiwijono, 1980:102).
Jikalau
“yang ada” mewujudakan tesis dan “yang tidak ada” mewujudkan anti tesis, maka
“menjadi” adalah sintesisnya. Sebab di dalam “menjadi” keduanya, “yang ada” dan
“yang tidak ada” dipersatukan dalam daratan yang lebih tinggi. Apa yang sedang
“menjadi” belum mencapai tujuannya. Sekalipun demikian apa yang sedang
“menjadi” tidak dapat dikatakan bahwa itu “ yang tidak ada”. Penegertian
“menjadi” melahirkan pengertian “yang dijadikan”. Dengan demikian “yang ada
secara umum tadi karena “menjadi” dibatasi, berada sebagai “yang terbatas”.
Adanya sesuatu yang terbatas mengandaikan adanya sesuatu “yang tidak terbatas”.
Jadi tesis “menjadi” menimbulkan antitesis “yang dijadikan” yang kemudian
mennghasilkan sintesis “yang tidak terbatas”. Demikianlah seterusnya
(Hadiwijono, 1980:102).
Sebagai
contohnya mengenai dialektika dari Hegel ini adalah golongan yang satu
menghendaki supaya negara menguasai agama. Pandangan ini mengandung didalamnya
hal yang positif baik, yaitu bahwa ada kesatuan dan kekuasaan politik, sehingga
tata tertib nasional menjadi terjamin. Segi negatifnya adalah bahwa kebebasan
beragama ditiadakan. Agama harus tunduk kepada pemerintah. pandangan yang
demikian itu membangkitkan reaksi, yang menghendaki supaya agama menguasai
negara. Keuntungan pandangan ini yang mewujudkan segi postifnya ialah kebebasan
beragama terjamin yang artinya agama dapat mengatur disri sesuai dengan hakekat
dan sifat sifatnya. Akan tetapi segi negatifnya ialah adanya kemungkinan
kebebasan beragama itu hanya untuk satu agama saja. Selain daripada itu
kekuasaan negara tidak sama dengan kekuatan yang riil, sehingga tata tertib
nasional dapat goyah. Jika kita melihat pandangan yang pertama adalah tesisnya,
maka pandangan yang kedua adalah antitesisnya. Sintesis bagi kedua pendapat
tersebut ialah pandangan yang menghendaki perpisahan diantara agama dan negara.
Keduanya baik negara maupun agama harus diberi tugasnya sendiri di bidangnya
sendiri sendiri. Segi positifnya dari pandangan yang ketiga ini adalah bahwa
tatatertib nasional dapat terjamin, sedangkan kebebasan agama terjamin bagi
semua agama. Baik kekuasaan maupun kekuatan politik berada ditangan yang sama.
Sekalipun demikian hak agama dihormati, sedang hak agama tidak dicampurkan
kedalam kepentingan politik (Hadiwijono, 1980:100).
Dari
contoh tersebut dapat disimpulkan bahwasanya dalam tesis terdapat segi positif
dan segi negatifnya, tetapi dalam tesis ini lebih banyak segi positifnya.
Sedangkan pada antitesisnya juga terdapat segi positif dan segi negatifnya
namun yang membedakan adalah jika dalam antitesisnya lebih banyak segi
negatifnya dari pada segi positifnya jika dibandingkan dengan segi positif atau
negatif dari tesisnya. Dan kemudian pada sintesisnya semua unsur positif dari
tesis maupun antitesis dipersatukan menjadi sebuah segi positif yang mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tesis maupun antitesisnya.
Meskipun tidak menutp kemungkinan dalam sintesis itu juga terdapt suatu
kekurangan atau segi negatifnya namun hal itu bisa dikatakan sangat kecil jika
dibanding segi negatif dari tesis dan antitesis. Misalnya saja perkara agama
hanya menjadi perkara pribadi sehingga orang mudah kehilangan rasa tanggung
jawab sosial dan lain sebagainya.
Selain
itu juga terdapat contoh yang lebih sederhana dalam kehidupan sehari hari.
Contoh ini juga akan memaparkan tentang dialektika Hegel yang terdiri dari
tesis, antitesis dan sintesis. Pertama kita mengatakan: “realitas adalah
seorang paman”. Ini merupakan tesis. Namun keberadaan paman menyiratkan
keponakan. Karena tiada yang betul betul eksis selain “yang mutlak”. Kita harus
menyimpulkan “yang mutlak adalah seorang keponakan”. Ini merupakan sebuah
antitesis. Namun ada keberatan yang sama dengan keberatan terhadap pandangan
bahwa yang mutlak adalah paman.oleh karena itu, kita tergerak untuk memandang
bahwa yang mutlak itu adalah keseluruhan antara paman dan keponakan. Ini
merupakan sintesisnya. Namun sintesis ini masih bersifat mengecewakan,
karenanya, kita tergerak memperluas keuniversalan kita dnegan memasukkan
saudara, dengan istri ataupun suaminya. Dengan cara ini, begitulah hal ini dpandang
kita dapat meneruskannya dengan kekuatan logika belaka, dari segala predikat
yang tersirat dari “yang mutlak” sampai pada kesimpulan akhir yaitu “idea yang
mutlak (absolute idea)”. Disepanjang keseluruhan proses ini, terdapat asumsi
dasar bahwa tidak ada yang benar-benar nyata kecuali mengenai realitas sebagai
keseluruhan (Russel, 2007:954).
Jadi
pada dasarnya proses gerak sejarah menurut Hegel adalah dialektis.
Konsep-konsep yang digunakan pada kenyataan pada dasarnya adalah tidak lengkap,
hanya sebuah kepingan saja yang berfungsi sementara. Kekurangan tersebut dapat
dilacak dengan mengamati kontradiksi, kekurangan dan kepingan lain yang nampak
jika kita menggunakan suatu konsep tersebut. Sesudah mengamati suatu
kontradiksi dari sebuah konsep itu, barulah konsep itu akan diperhalus, yang
dalam artian diperbaiki dari konsep awalnya. Jadi dialektik merupakan struktur
logis dalam historis yang merangkaikan koreksi diri antara yang satu dengan
yang lain, proses ini sebenarnya diarahkan oleh kontradiksi-kontradiksi yang
terkandung dalam setiap tahap proses itu (Ankersmit, 1987:31).
2.
Motor Penggerak Sejarah Menurut Filsafat
Hegel
Dalam
filsafat Hegel, hegel mengemukakan bahwa motor penggerak dari sejarah atau
segala kejadian di muka bumi ini adalah akal dimana terdapat ruh, ide atau
budi. Telah disinggung bahwa menurut Hegel dialektika bersifat ontologis, bahwa
proses gerak pemikiran adalah sama dengan proses gerak kenyataan. Oleh karena
itu pengertian-pengertian, kategori-kategori sebenarnya bukanlah hukum-hukum
pemikiran belaka, tetapi kenyataan-kenyataan, realita. Pengertian-pengertian
dan kategori-kategori dan lain-lainnya itu, bukan hanya hal-hal yng menyusun
pemikiran kita, tetapi semuanya itu adalah kerangka dunia yang artinya semuanya
itu menggambarkan hakekat dunia dalam pemikiran (Hadiwijono, 1980:101).
Sedangkan
mengenai akal, dalam buku Sejarah Filsafat Barat karangan dari Bertrand Russell
(2007:958) mengemukakan tentang kutipan yang menggambarkan tentang teori
Hegel mengenai akal yang terdapat dalam
pendahuluan The
Philosophy of history yang isinya sebagai
berikut:
Seperti Merkurius pemandu-jiwa, sebenarnya Idea itu
pimpinan orang-orang dan pemimpin dunia; dan ruh, kemauan yang rasional dan
niscaya dari pemandu itu, sedang dan telah terjadi pengarah peristiwa-peristiwa
sejarah dunia. Dengan jasanya ini, mengenal Ruh merupakan tugas kita sekarang.
....
Satu-satunya
pikiran yang dibawa oleh filsafat ke dalam perenungan tentang sejarah adalah
konsepsi sederhana tentang akal; bahwa akal adalah raja dunia; bahwa karenanya
sejarah dunia menyampaikan suatu proses yang rasional kepada kita. Keyakinan
dan intuisi ini merupakan hipotesis di
ranah sejarah seperti apa adanya. Di ranah filsafat ini bukan hipotesis. Disana
terbukti oleh kognisi spekulatif bahwa akal dan istilah ini bisa mencukupi kita
disini, tanpa penyelidikan tentang hubungan yang dilestarikan oleh alam semesta
dengan yang berada Ilahi adalah Substansi, disamping sebagai Kekuasaan Yang Tak
Terhingga; Material Tak Terhingga-nya
sendiri melandasi semua kehidupan alamiah dan rohaniah yang
memunculkannya, sebangaimana Forma tak terhingga yang menentukan gerakan
material itu. Akal adalah Substansi alam
semesta....
Bahwa
‘Idea’ atau ‘akal’ ini adalah Yang Benar, Yang Abadi, esensial yang sangat kuat
dan mutlak; bahwa ini mengungkap dengan sendirinya di dunia, dan bahwa di dunia
itu, tiada lain yang terungkap selain
ini dan kehormatannya dan kemuliannya. Merupakan tesis yang, sebagaimana yang
telaj kami sampaikan , sudah terbukti dalam filsafat, dan disini telah
diperagakan . Dunia intelegensi dan kemauan sadar tidak dilepas menghadapi
risiko, tetapi pasti memperlihatkan diri dengan sorotan Idea yang sadar diri,
[Ini merupakan] hasil yang kebetulan saya ketahui, karena saya melintasi
kesuluruhan lapangan itu.
Berdasarkan
kutipan tersebut jelas sekali bahwa Hegel sangat memuliakan akal, akal
dianggapnya sebagai raja dunia dan sebagai penggerak dalam segala jenis
peristiwa dalam dunia ini. Akal disebutnya sebagai substansi dari alam semesta.
Selain itu hegel juga mengatakan bahwa akal adalah yang benar dan yang abadi
dengan segala kemuliannya dan kehormatannya, dari pernyataan itu dapat sedikit
tergambar bagaimana Hegel menomorsatukan akal dibandingkan dengan aspek yang
lain misalkan saja peran tuhan dalam kehidupan.
Sedangkan
pandangan hegel menegenai ruh adalah Ruh, dan rangkaian perkembangannya,
merupakan obyek substansial filsafat sejarah. Hakikat Ruh bisa dipahami dengan
membandingkannya dengan oposisinya, yakni Materi. Esensi materi adalah gravitasi;
esensi ruh adalah kebebasan. Materi adalah diluar dengan sendirinya, sedangkan
Ruh mempunyai pusatnya dengan sendirinya, “Ruh adalah eksistensi yang swa-isi (self-contained).” Jika ini tidak jelas,
definii berikut mungkin lebih terang:
Tetapi apakah Ruh itu?Ruh adalah
yang tak terhingga, identitas murni yang senantiasa homogen yang pada tahap
kedua memisah diri dari dirinya sendiri dan menjadikan aspek kedua kutub
lawannya sendiri, yakni eksistensi untuk dan dalam diri bilamana dibandingkan
dengan Yang Universal (Russel, 2007:959).
Menurut
Hegel seluruh proses dunia adalah suatu perkembangan roh. Sesuai dengan hukum
dialektika roh meningkatkan diri, tahap demi tahap, menuju kepada Yang Mutlak.
Sesuai dengan perkembangan Roh ini maka filsafat Hegel tiga tahapan yaitu:
a. Tahap
ketika Roh berada dalam keadaan “ada dalam dirinya sendiri”. Ilmu filsafat yang
membicarakan roh berada dalam keadaan ini disebut logika.
b. Dalam
tahap kedua roh berada dalam keadaan “berbeda dengan dirinya sendiri”, berbeda
dengan “yang lain”. Roh disini keluar dari dirinya sendiri, menjadikan dirinya
“diluar” dirinya dalam bentuk alam, yang terkait kepada ruang dan waktu. Ilmu
filsafat yang membicarakan tahap ini disebutnya filsafat alam.
c. Akhirnya
tahap ketiga, yaitu tahap ketika roh kembali kepada dirinya sendiri yaitu
kembali daripada berada di luar dirinya, sehingga Roh berada dalam keadaan
“dalam dirinya dan bagi dirinya sendiri”. Tahap ini menjadi sasaran filsafat
roh.
Dari tahap tahap diatas digambarkan
suatu perkembangan tentang roh menurut hegel. Roh juga berperan penting dalam
sejarah ketika roh itu sampai pada tahapan yang ketiga dimana roh sudah kembali
kepada dirinya dan berada dalam dirinya dan bagi dirinya sendiri pada tahap
inilah yang disebut dengan “yang mutlak” (Hadiwijono, 1980:101).
Selain itu mengenai idea hegel
mengemukakan Idea Yang Mutlak, yang padanya Logika Berujung. Ide ini
diperkirakan merupakan pemikiran mengenai ide itu sendiri. Jelas, yang Mutlak
tidak dapat memikirkan apa-apa selain memikirkan dirinya sendiri, karena tidak
ada yang lain, kecuali pada pemahaman Realitas secara parsial dan keliru. Kita
diberitahu bahwa Ruh (spirit) adalah satu-satunya realitas, dan bahwa
pikirannya dipantulkan ke dalam dirinya sendiri oleh kesadaran diri. Kata-kata
yang dipakai Hegel untuk mendefinisikan Idea Yang Mutlak sangat kabur. Wallace
menerjemahkannya sebagai berikut:
The
Absolut Idea. The Idea, as unity of the Subjective dan Objective Idea, is the
notion of the idea- a notion whose object (Gegenstad) is the Idea as such, and wich the objective
(Object) is Idea –an object wich embraces all characteristic in this unity.
(Idea
Yang Mutlak. Ide, sebagai kesatuan Idea Subjective dan Objektive, adalah suatu
gagasan Idea-gagasan yang obyeknya adalah Idea seperti apa adanya, dan yang
sasarannya adalah Idea-suatu obyek yang mencakup semua karakteristik dalam
kesatuannya) (Russel, 2007:957).
3.
Tujuan Gerak Sejarah menurut Filsafat
Hegel
Dalam
filsafat Hegel, ia mengemukakan bahwa tujuan dari proses sejaraha adalah sebuah
kebebasan dalam menggunakan akal atau bisa dikatakan adalah kebebasan dalam
berfikir. Pada dasarnya perkembangan Dalam perkembangan historis Ruh, terdapat
tiga tahap: (1) Timur, (2) Yunani dan Romawi, (3) Jerman. Sejarah dunia adalah
ketertiban kehendak alamiah yang tak terkontrol, yang mengubahnya menjadi
ketaatan pada prinsip universal dan yang menganugerahkan kebebasan Subyektif.
Dunia timur tahu, dari dulu hingga sekarang, bahwa yang bebas hanya Satu; dunia
Romawi dan Yunani tahu bahwa yang bebas Beberapa; dunia Jerman tahu bahwa yang
bebas Semuanya.” Orang mungkin mengira bahwa demokrasi merupakan bentuk
pemerintahan yang tepat yang didalamnya semua orang bebas, tetapi pada
kenyataannya tidak demikian. Tetapi monarkilah yang didalamnya semua orang bebas.
Kata “Kebebasan” yang dipakai hegel ini terkait dengan pngertian yang sangat
ganjil. Baginya tidak ada kebebasan tanpa hukum, tetapi ia cenderung mengubah
ini, dan berpendapat bahwa dimana ada hukum disitu ada kebebasan. Dengan
demikian, “kebebasan” bagi dia bermakna agak lebih luas daripada hak untuk
mentaati hukum. Sebagaimana yang bisa diduga, ia menyerahkan peran tertinggi
kepada bangsa Jerman dalam perkembangan terestial Ruh. “ Ruh Jerman adalah ruh
dunia baru. Tujuannya adalah realisasi Kebenaran mutlak sebagai determinasi
diri tak terbatas dari kebebasan yakni kebebasan yang mempunyai bentuk
absolutnya sendiri, kebebasan itu sendiri sebagai tujuannya” (Russel,
2007:958).
Selain
penjelasan tersebut juga terdapat penjelasan lain mengenai proses dari
perkembangan ruh secara historis juga dijelaskan pada buku Refleksi Tentang
Sejarah karangan dari Ankersmit (1987:39) yaitu proses sejarah terbagi dalam
tiga bagian yakni sejarah Timur, Yunani Romawi, dan Germania atau Eropa Barat. Pembagian
ini didasarkan atas trias Hegel, yakni Roh Obyektif, roh Subyektif, dan roh
Mutlak. Inilah struktur kedua. Dalam dunia timur, Roh belum sadar diri, manusia
masih berada dalam keadaan alami sedangkan roh roh berkarya dan menyusun dalam
obyektifitas(seperti misalnya hokum alam). Baru dalam dunia Yunani Romawi
timbullah subyektifitas. Roh menempatkan diri diluar dan berhadapan dengan apa
yang secara obyektif ada. Akan tetapi roh Subyektif semula kurang memahami
kenyataan obyektif. Baru dengan munculnya roh Mutlak, di dalam dunia Germania
terjadi perukunan antara Subyektif dan Obyektif. Kedua Trilogi ini berkaitan dengan Trilogi
yang ketiga: dalam tahap roh Obyektif kenyataan social berpadanan dengan
kenyataan alami. Seperti bend-benda dan hewan-hewan dalam kenyataan fisik dan
biologis dikuasai oleh hokum-hukum fisik dan biologis yang universal, demikian
juga dengan masyarakat manusia dalam tahap roh Obyektif. Tahap roh Mutlak
ditandai oleh cirri universalitas, sedangkan dunia Yunani Romawi oleh
Subyektifitas, artinya refleksi diri dan individualitas. Individualitas
berhadapan dengan universalitas dan obyek tifitas. Tetapi sintesis antara
universaliatas dan individualitas baru tercapai dalam dunia Germania dan disana
terwujud dalam “das konkrete Universele”, seperti diistilahkan Hegel, yaitu
Universalitas yang diindividualkan. Perkembangan dalam hubungan antara manusia
dalam bidang pltik dan social, merupakan contoh bagaimana skema yang abstrak
ini terwujud. Dalam dunia timur, menusia mengikat diri tanpa berpikir lebih
mendalam, tanpa refleksi diri pada peraturan-peraturan yang berlaku di dalam
masyarakatnya, sama seperti benda-benda dan hewan-hewan tunduk kepada hukum
alam. Dalam tahap roh Subyektif (Yunani Romawi)
manusia mulai berpikir mengenai hubungan antara individu dan masyarakat
atau Negara, namun belum tetu berhasil menemukan keseimbangan antara kedua
kutub tersebut. Baru di dunia Germania, tahap “Universalitas yang konkret”
terjadilah suatu bentuk masyarakat (monarki konstutional) yang sama-sama
memperhatikan baik individu maupun masyarakat. Masalah mengenai hubungan antara
individu dan masyarakat adalah masalah
yang paling pokok yang dihadapi manusia dalam perkembangan sejarahnya
dipecahkan secara memuaskan.
Selain itu Hegel juga menaruh
perhatiannya terhadap negara, menurutnya Negara adalah sebuah perwujudan dari
kebebasan. dalam The Philosophy of
History dikatakan bahwa “Negara adalah kehidupan bermoral yang terwujud
secara actual,” dan bahwa semua realitas spiritual yang dimiliki umat manusia,
hanya bisa dimiliki melalui Negara.” Karena realitas spiritualnya tercapai
lantaran Negara, maka esensinya sendiri “akal” hadir kepadanya secara obyektif.
Maka baginya, Negara mempunya eksistensi obyektif. Karena kebenaran adalah
kesatuan dari kehendak yang universal dan rasionalnya. Negara adalah Idea
Illahi yang mewujud dibumi.”lagipula, “Negara adalah jelmaan kebebasan
rasional, yang mewujudkan dan mengakui diri dalam bentuk yang obyektif. Negara
adalah Idea Ruh dalam perwujudan eksternal Kehendak manusia dan kebebasannya (Russel,
2007:963).
” The Philosophy of law, dalam seksi tentang Negara, mengembangkan
doktrin yang sama dengan yang terdapat di dalam Filsafat Sejarah, tetapi agak
lebih lengkap.“Negara adalah idea moral, ruh moral. Sebagai kehendak
substansial yang bisa dilihat, gambling bagi dirinya sendiri, yang memikirkan
dan mengetahui diri sendiri, dan memenuhi apa yang diketahui selama
mengetahuinya. “Negara adalah rasional dalam dirinya sendiri dan bagi dirinya
sendiri. Jika Negara itu eksis hanya demi kepentingan individu (sebagaimana
pendapat orang-orang liberal), seorang individu bisa atau tidak bisa menjadi
anggota Negara. Tetapi, ini mempunyai hubungan yang berbeda dengan individu:
Karena ini merupakan Ruh obyektif, individu hanya memiliki obyektivitas, kebenaran,
dan moralitas selama ia menjadi anggota Negara, dan isi dan niat sejatinya
adalah persatuan saja. Diakui bahwa mungkin ada Negara buruk, tetapi ini
sekedar eksis, dan tidak mempunyai realitas sejati, sedangkan Negara rasional adalah
tak terbatas di dalam dirinya sendiri (Russel, 2007:963).
DAFTAR PUSTAKA
Russel,
Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat. Yogykarta:
Pustaka Pelajar
Ankersmit,
F.R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah. Jakarta:
Gramedia
Kartodirdjo,
Sartono. 1990. Ungkapan-ungkapan Filsafat
Sejarah Barat dan Timur. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hadiwijono, H. 1980. Sari Sejarah
Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar