Kamis, 22 Juni 2017

MAKNA DAN TUJUAN SEJARAH



MAKNA DAN TUJUAN SEJARAH
(The Meaning and Goal of History)

            Sejarah merupakan ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau tentang kehidupan manusia. Secara garis besar, sejarah itu dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu pertama adalah proses sejarah yang berarti aktualisasi dari peristiwa yang benar terjadi di masa lampau. Kedua adalah penulisan sejarah (Historiografi) yang berarti adalah kisah yang dituliskan berdasar peristiwa itu.
            Peristiwa sejarah merupakan sebuah proses. Proses berjalannya kehidupan manusia pada saat itu. Proses bisa juga diartikan sebagai usaha. Di dalam sebuah proses atau usaha, terdapat sebuah kebermaknaan. Usaha dapat dikatakan ber”makna” apabila proses atau usaha itu dapat mencapai sebuah tujuan yang memang sudah dicita-citakan. Contoh kongkrit misalnya, saya sedang berusaha untuk pergi ke restoran, makna dari saya pergi ke restoran adalah agar saya dapat melaksanakan tujuan saya, yaitu membeli makanan. Makna dan tujuan adalah dua hal yang berbeda, namun keduanya saling terikat satu sama lain.
Secara harfiah “makna” mempunyai arti maksud pembicaraan dan tujuan mempunyai arti sesuatu yang dituju. Berbicara mengenai makna dan tujuan sejarah, bahasan semacam ini akan cukup membingungkan, tetapi jika dipahami dengan pelan pelan dan hati hati, bahasan tentang makna dan tujuan sejarah ini akan bisa dipahami dan menjadikan kita lebih menghargai setiap proses sejarah itu.
            Mengenai makna proses sejarah, terdapat empat tafsiran mengenai “makna” itu sendiri yaitu:
1)      Pertama, sebagai sebuah pertanyaan mengenai tujuan terakhir, yang dilaksanakan dalam perjalanan proses sejarah. 
2)      Kedua, sebagai pertanyaan mengenai arti proses sejarah. 
3)      Ketiga, sebagai pertanyaan mengenai tujuan dan gunanya pengkajian sejarah. 
4)   Keempat, sebagai pertanyaan mengenai arti pengkajian sejarah (pertanyaan mengenai arti semua telaah sejarah mengenai masa silam)
Tafsiran-tafsiran di atas intinya adalah pertanyaan apa sebenarnya “makna” dari sejarah dan pengkajian sejaran itu sendiri. Untuk menjawab apa “makna” dari proses sejarah dan pengkajian sejarah, tentunya kita harus tau terlebih dahulu mengenai tujuan dari proses sejarah dan pengkajian sejarah itu. Sebuah proses sejarah akan bermakna jika, proses sejarah itu telah berhasil mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh pelaku-pelaku sejarah itu sendiri. Untuk lebih menjelaskan mengenai makna dan tujuan proses sejarah, saya akan memberikan contoh berdasarkan filsafat sejarah dari para ahli.
            Salah satu tokoh filsafat spekulatif yang cukup terkenal dan bahkan pemikirannya sampai sekarang masih dijadikan sebagai ideologi oleh beberapa negara adalah Karl Marx. Dalam sejarah spekulatif yang dikemukakan oleh Karl Marx, dia menyatakan bahwa gerak sejarah umat manusia ini bersifat progresive atau menuju ke arah kemajuan. Motor penggerak dari sejarah itu sendiri menurut Marx adalah materi, yang dimaksud materi oleh Marx adalah semua benda benda produksi atau kerja sosial yang dilakukan oleh manusia. Material lah yang membuat manusia bergerak dan melakukan kegiatan di muka bumi ini.
            Material itulah yang membuat sebuah proses sejarah manusia berjalan. Marx membagi proses sejarah umat manusia menjadi beberapa bagian yaitu:
1)      Masyarakat Asiatik (absence of private land property, unchanging, need exogen factor breaking up isolation)
2)      Masyarakat Kuno (families forming tribal units, communal property ownerships)
3)      Masyarakat Feodal (wind mill and land accumulation by landlords)
4)      Masyarakat Borjuis/kapitalis (steam engine)
5)      Masyarakat Sosialis
Pergantian fase adalah hasil perubahan teknologis (instrumen produksi). Sejarah Berakhir dengan terbentuknya masyarakat sosialis tanpa kelas. Jadi tujuan proses sejarah menurut Marx adalah Masyarakat Sosialis Tanpa Kelas.
            Pertanyaannya adalah apakah proses pergantian masyarakat itu adalah sesuatu yang mempunyai makna? Untuk menjawabnya tentu kita harus melihat tujuan dari proses itu sendiri dulu. Tujuan proses sejarah menurut Marx adalah Masyarakat Sosialis Tanpa Kelas. Kita melihat pada waktu ini masyarakat tanpa kelas sudah tercapai di beberapa negara sosialis Komunis, meskipun tidak sepenuhnya seperti yang Marx cita-citakan, namun anggap saja tujuan dari proses sejarah menurut Marx sudah tercapai. Jika tujuan itu sudah tercapai maka barulah kita bisa memberikan makna bahwa proses menuju masyarakat sosialis tanpa kelas itu adalah sebuah perjuangan berat yang dikatakan berhasil. Namun yang menjadi pertanyaan lagi adalah, jika masyarakat sosialis tanpa kelas itu merupakan tujuan akhir dari proses sejarah, seharusnya proses sejarah itu sudah tidak berjalan lagi atau berhenti, namun mengapa sampai saat ini negara-negara yang sudah berpaham sosialis komunis tanpa kelas masih berproses menuju sebuah tujuan baru yang lebih baik? Apakah benar proses sejarah itu mempunyai tujuan akhir? Jika proses sejarah itu tidak mempunyai tujuan akhir, bukankah berarti proses sejarah itu sendiri secara intrinsik tidak mempunyai makna sama sekali. Sebuah hal yang mungkin membingungkan.
            Mari kita coba lihat contoh filsafat sejarah lain yang mempunyai tujuan akhir yang cukup abstrak. Salah satu filsuf sejarah abad pertengahan yang cukup terkenal dengan aliran religiusnya adalah Santo Agustinus. Menurut Agustinus, terdapat 6 periode utama dalam sejarah yaitu:
1)      Periode dari Adam hingga Nuh
2)      Periode dari Nuh hingga Abraham
3)      Periode dari Abraham hingga David
4)      Periode dari David hingga Pembuangan
5)      Periode dari Pembuangan hingga Kelahiran Kristus
6)      Periode dari Kelahiran Kristus hingga Pengadilan terakhir (Kiamat).
Menurutnya, sejarah akan berakhir pada masa istirahat dalam abadi bersama Tuhan / ALLAH. Santo Agustinus menyebutkan bahwa dunia ini terbagi menjadi dua yaitu Kota Tuhan dan Kota Manusia. Kota Tuhan dibentuk oleh Cinta Tuhan, Kota Manusia dibentuk oleh Cinta diri. Kedua kota ada bersama-sama (koeksistensi) sepanjang sejarah manusia. Kapan berakhir? Pada hari kebangkitan dan pengadilan terakhir. Kedua kota akan dipisahkan dengan dua takdir berbeda: Surga (heaven) atau Neraka (hell).
            Proses sejarah menurut Agustinus adalah kehidupan untuk mencari ridho Tuhan. Apakah kehidupan itu bermakna? Kehidupan manusia dikatakan bermakna jika manusia mampu mencapai tujuan akhir yaitu “Kota Tuhan” dimana terdapat cinta Tuhan disana. Tetapi yang menjadi masalah dalam filsafat sejarah Agustinus ini adalah tujuan akhir manusia itu bersifat abstrak. Sehingga pada kenyataannya, kita tidak dapat memberikan makna kepada proses belangsungnya kehidupan manusia di dunia, apakah sudah bermakna atau belum, karena manusia tidak pernah tau kemanakah manusia akan menuju kelak, ke Surga atau Neraka.
            Berdasarkan pembahasan di atas, sungguh sangat membingungkan memahami makna dan tujuan sejarah. Sebagian kalangan mengkritik gagasan tentang sejarah yang memiliki tujuan akhir. Dengan mengandaikan proses sejarah hanyalah sebuah jalan menuju tujuan akhir sejarah, berarti proses sejarah sendiri hanya mengabdikan dirinya kepada masa depan, kepada tujuan akhir. Namun sebagian lain sedikit terhibur dengan gagasan itu, bahwa kehidupan mereka tidak sia-sia, melainkan sebuah sumbangan untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Kebanyakan masih merasa tidak puas, karena menganggap bahwa kehidupan sekarang hanyalah jembatan bagi kehidupan anak cucu kita di masa depan. Lantas apa yang diberikan anak cucu kita di masa depan nanti? Apakah usaha dan penderitaan manusia di saat ini benar-benar sebuah sumbangan untuk kehidupan yang lebih baik kelak? sebuah yang bermakna? Atau hanya kesia-siaan belaka?. Pertanyaan-pertanyaan hanya bisa dijawab oleh anak cucu kita di masa depan, sebagaimana kita bisa menjawab kebermaknaan usaha para pendulu kita.
Jadi pada dasarnya, makna sejarah terletak kepada “masa kini”. Proses Sejarah itu tidak akan bermakna jika bukan kita sendirilah yang memaknainya. Menurut Kant and Popper, Manusia harus memberikan makna kepada sejarah, karena baru demikian perbuatan/kejadian dapat disusun secara kait-mengait, dan dapat diarahkan ke hari depan. Dengan memberikan makna kepada proses sejarah, maka kita juga akan mengetahui apakah usaha-usaha yang dilakukan para pendahulu kita itu adalah sebuah sumbangan terhadapa masa kini ataukah hanya kesia-siaan belaka, semuanya tergantung kepada si pemberi makna itu sendiri.
Pemberian makna terhadap proses sejarah ini sendiri juga berguna terhadap kehidupan masa kini sebagai sebuah kearifan. Seperti yang dikatakan oleh pepatah lama, “Historia Magistra Vitae” yang artinya adalah sejarah bertindak sebagai  guru terbaik dalam hidup. Dalam proses sejarah terdapat makna-makna yang dapat kita berikan dan kita ambil pelajaran dari makna-makna itu. sebagai orang Islam, kita juga telah dianjurkan untuk mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa sejarah, sebagaimana Firman Allah dalam QS. Yusuf: 111, “sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’am itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”.

SEMOGA BERMANFAAT
^_^


Senin, 05 Juni 2017

MEMPERBAIKI PEMAHAMAN TENTANG AS-SUNNAH


MEMPERBAIKI PEMAHAMAN TENTANG AS-SUNNAH
Asslamualaikum, wr.wb
            Sunnah menurut istilah syari’at adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW baik dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ atau pensyariatan bagi umat Islam. Akhir-akhir ini tanpa kita sadari ternyata kita terlalu sering meninggalkan Sunnah Rasulullah. Misalnya seperti Shalat Sunnah Rawatib, shalat berjamaah di mesjid, tadarus, sedekah, menjaga wudhu, menyegerakan solat, dan masih banyak amalan-amalan sunnah yang kita tinggalkan, bahkan mungkin sampai lupa yang mana saja yang termasuk Sunnah Rasulullah. Hal ini tentu ada sebab musababnya. Salah satu penyebab permasalah ini adalah pemahaman yang salah kaprah tentang Sunnah Rasulullah. Pemahaman yang salah kaprah inilah yang mengakibatkan banyak dari kita yang merasa biasa saja ketika tidak melaksanakan Sunnah Rasulullah.
Salah kaprah yang bagaimana?
Kita sadari atau tidak pemahaman kita tentang Sunnah sejak kecil memang sudah salah kaprah. Ketika kita ditanya “apa itu hukum Sunnah?”, maka kebanyakan dari kita akan menjawab “jika dikerjakan akan mendapat pahala, jika tidak, tidak apa-apa”. 
Kata “tidak apa-apa” yang diajarkan oleh orang-orang pendahulu kita yang menjadi sumber masalah. Dengan menggunakan pengertian kata “tidak apa-apa”, maka manusia akan cenderung meremehkan, apalagi ditambah memang mengerjakan amalan Sunnah itu juga menyita waktu, sehingga merasa malas dan lagipula akan aman-aman saja ketika tidak melaksanakan Sunnah. Iya memang tidak berdosa jika tidak melakukan amalah Sunnah, tetapi tentulah kita akan merugi jika mengetahui manfaat dibalik amalan-amalan Sunnah itu.
Apa benar tidak apa-apa jika meninggalkan Shalat Sunnah Rawatib? Padahal Rasulullah telah bersabda “Barangsiapa yang mengerjakan dua belas rakaat Shalat Sunnah Rawatib sehari semalam, maka akan dibangunkan baginya suatu rumah di surga” [HR. Muslim & Tirmidzi].
Apa benar tidak apa-apa jika meninggalkan tadarus / membaca Al Qur’an? Padahal Rasulullah telah bersabda “Bacalah oleh kalian Al Qur’an, karena ia (Al Qur’an) akan datang pada Hari Kiamat kelak sebagai pemberi syafa’at bagi orang-orang yang rajin membacanya” [HR. Muslim].
Apa benar tidak apa-apa meninggalkan shalat berjamaah? Padahal Rasulullah telah bersabda “shalat berjamaah lebih afdhal daripada shalat sendirian sebanyak 27 kali lipat” [H.R Bukhari & Muslim]. Sabda lain dari Rasulullah “sesungguhnya shalat seseorang secara berjamaah dilipatgandakan 25 kali daripada dia shalat di rumahnya atau di pasarnya. Jika dia berwudhu, kemudian dia baguskan wudhunya, dan dia tidak kemesjid kecuali dia hendak shalat, maka dia tidak melangkahkan kakinya kecuali diangkat derajatnya dan dihapuskan dosanya. Dan jika dia shalat maka para malaikat senantiasa mendoakannya selama dia masih tetap di tempat shalatnya dan tidak berhadas. Para malaikat berkata “ya Allah angkatlah derajatnya, rahmatilah dia”, dan dia senantiasa dalam kondisi shalat selama dia menunggu shalat berikutnya”. [H.R Bukhari & Muslim].
Apa benar tidak apa-apa tidak menyegerakan waktu untuk shalat? Abdullah Ibnu Mas’ud RA berkata, “aku bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, amal perbuataan apa yang paling afdhal?” Beliau menjawab,Shalat tepat pada waktunya.”, aku bertanya lagi, “lalu apa lagi?” Beliau menjawab “berbakti kepada orang tua”, kemudian apa lagi, ya Rasulullah?, Beliau Menjawab, “berjihad di jalan Allah”. [HR. Bukhari].
Apa benar tidak apa-apa jika meninggalkan sedekah? Padahal Rasulullah telah bersabda “baramgsiapa yang menginfaqkan kelebihan hartanya di jalan Allah, maka Allah akan melipatgandakan dengan tujuh ratus kali lipat. Dan barangsiapa yang berinfaq untuk dirinya dan keluarganya, atau menjenguk orang sakit, atau meningkirkan duri, maka mendapatkan kebaikan dan kebaikan sepuluh kali lipatnya. Puasa itu tameng selama ia tidak merusaknya. Dan barangsiapa yang Allah uji dengan satu ujian pada fisiknya, maka itu akan menjadi penggugur dosa-dosanya.” [HR. Ahmad]
Apakah benar tidak apa-apa ketika kita sudah diberikan kesempatan oleh Allah untuk melaksanakan Sunnah yang di dalamnya terdapat banyak sekali keutamaan yang dijanjikan oleh Allah kita melewatkannya begitu saja? Tentu jelas kita akan merugi jika meninggalkan Sunnah dengan berbagai keutamaan besar yang dijanjikan oleh Allah itu. 
Berdasarkan hal itu, marilah dan marilah, kita perbaiki mulai dari pengertian Sunnah itu sendiri, kita rubah menjadi “jika dikerjakan mendapat pahala, jika ditinggalkan maka kita akan menjadi orang-orang yang merugi”. Insyaallah jika pengertian ini dirubah maka diri kita, terutama anak cucu kita kelak akan menjadi orang yang tidak ingin melepaskan kesempatan melakukan amalan Sunnah begitu saja, meski pesona dunia begitu menggoda.

WALLAHU’ALAMMU BISSHAWAB

BUKA HATI, MARI HIJRAH BERSAMA


Kamis, 01 Juni 2017

Toleransi Tidak Dilarang oleh Islam



Assalamualaikum. Wr. Wb
Akhir akhir ini saya merasa risih mendengar pernyataan diberbagai komentar atau berita-berita di media sosial dari beberapa kalangan yang menyatakan bahwa muslim yang toleran terhadap non muslim adalah muslim liberal, antek-antek liberal, penyusupan paham-paham liberal, dan sebagainya itu. Jika seperti itu pandangan mereka, tentu kita harus melihat dulu tentang ayat Al Qur’an yang menganjurkan toleransi meski terhadap yang berbeda agama. Salah satunya adalah “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) mengusirmu. Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.”(QS. Al Mumtahanah [60]: 8-9).
Dari penggalan surat ini kita dapat tahu bahwa yang boleh kita musuhi, perangi, tidak menjadikan kawan adalah orang-orang yang zalim terhadap kita. Tentu meskipun mereka non muslim tetapi mereka tidak berlaku zalim terhadap kita, tidak ada larangan oleh Allah untuk kita menjadikan kawan atau berbuat baik kepada mereka, tentunya dengan catatan bahwa kita tidak melampaui batas. Jika masih kurang puas, silahkan baca secara utuh makna dari QS. Al Mumtahanah, disitu dijelaskan tentang bagaimana bersikap terhadap non muslim.
Banyak juga kisah-kisah Rasulullah yang menceritakan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling toleran terhadap non muslim. Seperti misalnya kisah Rasulullah dengan wanita yahudi buta yang selalu meludahinya, kemudian kisah tentang berdirinya Rasulullah ketika ada rombongan mayat orang yahudi yang lewat di depan beliau, Rasulullah juga bertetangga dengan orang nasrani di madinah, dan masih banyak lagi tauladan-tauladan Rasulullah tentang sikap toleransi terhadap non muslim. Atau kisah Khalifah Umar bin Khattab yang mengembalikan rumah wanita yahudi di Mesir karena digusur akibat perluasan masjid.
Jika Al Qur’an, Rasulullah, dan juga Khulafaur Rasyidin sudah menganjurkan dan berbuat toleransi terhadap non muslim yang tidak zalim terhadap kita, lantas mengapa kita masih enggan mengikutinya. Mengapa masih bersikeras bahwa tolerasi terhadap non muslim itu dilarang bahkan mengharamkan. Landasan mana yang kalian pakai. Jangan hanya dilandasi dengan ambisi dan nafsu belaka saja, karena itu akan menyesatkan diri sendiri saja. Tetaplah berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah serta tauladan dari para Khulafaur Rasyidin.
Jika memang Allah melarang kita untuk bersikap toleransi terhadap non muslim, mengapa Allah tidak mengislamkan saja semua manusia di muka bumi ini. Itu hal yang sangat mudah bagi Allah. Bukankan Allah sendiri yang berfirman dalam surat Al Hujurraat (49): 13 yang artinya “hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”. kita memang diciptakan menjadi berbagai bangsa dan suku dan untuk kita saling mengenal. Tanpa perlu kita menunjukkan kepada semua orang bagaimana diri kita, Allah sudah tau siapa yang paling salih dan paling takwa kepadaNya.
Marilah saudaraku seiman, hentikan hujatan-hujatan kasar, pelabelan kafir, muslim liberal, dsb itu. Itu hanya merenggangkan ukhuwah Islamiyah kita sebagai kaum muslim. Bersikaplah toleran terhadap non muslim, karena itu tidak dilarang oleh Allah selama non muslim itu tidak berbuat zalim kepada kita. Allah juga sudah dengan jelas menegaskan dalam QS. Al Kafirun bahwa kita telah dibedakan oleh Allah dengan golongan non muslim. Jadi tidak perlu takut jika hanya berteman saja dengan non musim.
Semoga bermanfaat dan tetap jaga persatuan Indonesia.
Wassalamualaikum. Wr. Wb