"VIVA HISTORIA"
Selamat datang di blog saya. Mudah-mudahan tulisan saya dapat bermanfaat bagi anda. Jangan lupa untuk selalu mencantumkan sumber dari blog ini ^_^, sebagai bentuk penghargaan terhadap penulis. silahkan tinggalkan komentar jika ada sesuatu yang ingin disampaikan. Mator Sakalangkong.
Kamis, 14 Mei 2020
Rabu, 06 Mei 2020
ORANG-ORANG KUNLUN
"Nenek moyangku seorang pelaut", begitulah judul lagu anak-anak yg kerap kali dinyanyikan pas masa TK dulu. nampaknya Ibu Soed tau betul masa lalu bangsa ini. Bagaimana tidak, fakta-fakta memang menunjukkam bahwa bangsa ini sudah mengarung samudera jauh sebelum zaman kerajaan maritim berjaya.
Tercatat pertama kali dalam sebuah kutipan berita cina pada awal abad ke-3 bahwa orang-orang kunlun, begitu sebutan utk penduduk maritim Nusantara, telah ikut serta dalam pelayaran Faxian.
Pada abad ke-7, dalam prasasti Telaga Batu (Palembang) yg berasal dr kerajaan Sriwijaya terdapat istilah "pawahang", yg brrti kapten kapal dagang. Kemudian pd tahun 827M istilah yg sama ditemukan dlm prasasti Dang Puwahang Gelis. Dua abad kemudian "puwahang" muncul lagi dlm prasasti Kamaglayan yg berasal dr masa pemerintahan Airlangga. Hal itu menunjukkan bahwa dr masa ke masa pelayaran samudra ttp menjadi pilihan hidup bangsa ini.
Terlebih lagi banyak sumber-sumber luar sejak abad 5 yg mencatat ttg hubungan dagang dg orang-orang yg berasal dr Jawa dan Sumatera. Sebut saja bbrapa sumber cina yg menyebut pulau "Ye-po" yg brti "yawadwipa" atau Jawa. Juga catatan dr sumber arab yg menyebut "Javaga" yg brrti sumatera. Hal ini semakin memperkuat bukti bahwa bangsa ini adl bangsa pelaut.
Sedang Gambar adl relief candi Borobudur ttg perahu bercadik yg digunakan pada masa Medang dan Sriwijaya yg menjadi saksi bisu kejayaan pelayaran masa lalu orang-orang Kunlun.
SARUNG DAN SEJARAH
Sarung hanyalah sebuah kain yang dijahit di bagian kedua ujungnya sehingga bentuknya menyerupai tabung. Tak ada yg istimewa dari bentuknya, namun jangan salah, di Nusantara sarung istimewa dalam identitas dan sejarahnya.
Sejak masuknya Islam ke Nusantara, pembangunan budaya Islam begitu masif terjadi, sehingga muncullah kelas sosial baru yg kita sebut dengan golongan Santri. Golongan yg menurut Gertz adl golongan yg identik dg ketaatannya dalam menjalankan syariat Islam. Kaum inilah yg menjadikan sarung sebagai identitas kolektif mereka.
Pada abad-19, kuatnya pengaruh dan kedudukan kaum santri di tatanan sosial masyarakat Nusantara berimbas pada "ketakutan" kolonial kepada kaum ini. Sehingga sarung dijadikan sebuah steriotip negatif, dimana menurut meraka sarung adalah simbol keterbelakangan, dan kaum sarungan adalah kaum yg terbelakang.
Steriotip ini melekat cukup lama, hingga akhirnya pada abad awal abad ke 20 steriotip itu dijungkir balikan oleh sebuah foto fenomenal dari sang "kesatria piningit" H.O.S. Tjokroaminoto. Dalam potret itu Tjokroaminoto mengenakan sarung dan peci dg tatapan tajam yg menandakan perlawanan. Potret ini tak membuat pamor Tjokroaminoto turun, ttp sbaliknya pamor sarung lah yang naik. Sejak saat itu sarung trus menjadi sebuah identitas kolektif dan simbol perjuangan kaum santri dalam membangun bangsa ini.
Jadi tidak berlebihan jika sekarang dikatakan bahwa sarung adalah salah satu identitas nasional. Mengingat memang sarung telah menjadi saksi bisu sejarah bangsa ini.
Sejak masuknya Islam ke Nusantara, pembangunan budaya Islam begitu masif terjadi, sehingga muncullah kelas sosial baru yg kita sebut dengan golongan Santri. Golongan yg menurut Gertz adl golongan yg identik dg ketaatannya dalam menjalankan syariat Islam. Kaum inilah yg menjadikan sarung sebagai identitas kolektif mereka.
Pada abad-19, kuatnya pengaruh dan kedudukan kaum santri di tatanan sosial masyarakat Nusantara berimbas pada "ketakutan" kolonial kepada kaum ini. Sehingga sarung dijadikan sebuah steriotip negatif, dimana menurut meraka sarung adalah simbol keterbelakangan, dan kaum sarungan adalah kaum yg terbelakang.
Steriotip ini melekat cukup lama, hingga akhirnya pada abad awal abad ke 20 steriotip itu dijungkir balikan oleh sebuah foto fenomenal dari sang "kesatria piningit" H.O.S. Tjokroaminoto. Dalam potret itu Tjokroaminoto mengenakan sarung dan peci dg tatapan tajam yg menandakan perlawanan. Potret ini tak membuat pamor Tjokroaminoto turun, ttp sbaliknya pamor sarung lah yang naik. Sejak saat itu sarung trus menjadi sebuah identitas kolektif dan simbol perjuangan kaum santri dalam membangun bangsa ini.
Jadi tidak berlebihan jika sekarang dikatakan bahwa sarung adalah salah satu identitas nasional. Mengingat memang sarung telah menjadi saksi bisu sejarah bangsa ini.
JAVA MAJOR
Mungkin banyak dr kita yg bertanya-tanya mengapa Jawa menjadi pulau ''utama'' bagi Indonesia, bahkan bisa dikatakan pusatnya Indonesia. Tentu hal itu bukanlah sebuah kebetulan semata. Ada banyak faktor yg membuat Jawa menjadi begitu istimewa.
Faktor utamanya adalah memang karena Tuhan telah memberikan berkah yg luar biasa bagi Jawa dalam hal kondisi geografisnya. Di Jawa terdapat gunung-gunung api yg tdk saling berbaris menyambung seprti halnya di Sumatera, melainkan terdapat lembah-lembah diantaranya yg memungkinkan terjadi kehidupan dan homogenisasi kebudayaan.
Tanah di Jawa berasal dr lapisan tanah muda yg membuat tanahnya lebih subur, ditambah lagi letusan** gunung api yg makin membuatnya semakin subur.
E. C. J. Mohr dlm penelitian pedologinya membuktikan dg jelas bahwa tanah Jawa kaya akan zat basa yg sangat cocok bagi berbagai macam tanaman.
Tanah di Jawa berasal dr lapisan tanah muda yg membuat tanahnya lebih subur, ditambah lagi letusan** gunung api yg makin membuatnya semakin subur.
E. C. J. Mohr dlm penelitian pedologinya membuktikan dg jelas bahwa tanah Jawa kaya akan zat basa yg sangat cocok bagi berbagai macam tanaman.
Faktor lainnya adalah, Lombard menyatakan bahwa Jawa, khususnya bagian pesisir utara menjadi tempat persilangan budaya yg sangat masif. Membuat Jawa lebih mudah berkembang dibandingkan pulau yang lain dalam hal kebudayaan. Selain itu, kerajaan-kerajaan seperti Majapahit mampu membangun sistem irigasi dan pemerintahan yang sangat baik pada saat itu yang membuat Jawa semakin solid.
Berdasarkan faktor-faktor itu Jawa menjadi tersohor dikalangan para pelaut Eropa dan Cina. Marcopolo menyebut Jawa dg sebutan JAVA MAJOR utk membedakannya dg pulau-pulau lainnya seprti Sumatera dan Kalimantan yg disebutnya dg JAVA MINOR. Marcopolo memberi nama itu atas dasar informasi para pelaut yg pernah singgah di Nusantara. Menarik jika melihat sebutan yg diberikan oleh Marcopolo, dimana hampir semua pulau di Indonesia diberikan nama JAVA, hanya berbeda ekornya saja. Begitu istimewanya Jawa.
Karena hal-hal itu, Jawa menjadi semakin pesat perkembangannya, baik dalam hal jumlah penduduk maupun kemajuan dalam berbagai bidangnya. Meninggalkan para saudaranya seprti Sumatera dan Kalimantan yg sebenarnya lebih luas dr pada dirinya.
Minggu, 25 Februari 2018
PALU ARIT DAN BULAN SABIT (AKAR KONFLIK PKI DAN ORANG ISLAM DI JAWA)
PALU
ARIT DAN BULAN SABIT
(AKAR
KONFLIK PKI DAN ORANG-ORANG ISLAM DI JAWA)
Oleh:
Arief Muhammad Ramdhani
Berbicara tentang sejarah bangsa ini, tak pernah kering
meski telah digali berkali. Salah satu catatan sejarah Bangsa Indonesia yang
menarik, penuh misteri, dan bisa dikatakan menjadi sebuah catatan kelam adalah
konflik yang terjadi antara Partai Komunis Indonesia (Palu Arit) dengan
orang-orang Islam (Bulan Sabit) di Jawa. Konflik yang berkepanjangan, bahkan
atmosfirnya masih digunakan untuk kepentingan politik pada masa kini. Seperti
yang banyak orang ketahui bahwa PKI adalah salah satu partai yang dilarang oleh
pemerintah. Bukan apa-apa, memang sepak terjang partai ini yang kerap kali
lekat dengan radikalisme, pembunuhan, pemerkosaan, dan kekerasan-kekerasan
lainnya. Tak dapat dipungkiri bahwa membicarakan PKI bagi sebagian besar bangsa
ini seperti membuka kembali luka yang telah kering. Namun sebagai generasi
baru, kita wajib mengetahui secara keseluruhan bagaimana konflik-konflik yang
ditimbulkan oleh PKI khususnya dengan orang-orang Islam. Kita tidak boleh hanya
memandang dari satu sudut saja, namun kita harus memandangnya dari berbagai
macam sudut, agar pesan yang disampaikan oleh kepingan sejarah konflik ini bisa
tersampai.
Dalam tulisan ini tentu saya tidak akan membahas semua
aspek dalam konflik yang terjadi antara PKI dan orang-orang Islam, karena itu
sangat luas. Saya hanya akan menfokuskan tulisan ini kepada sebab musabab dari
konflik laten ini. Namun, sebelum masuk ke pembahasan utama, tentu ada baiknya
kita mengetahui terlebih dahulu sedikit tentang paham komunisme yang merupakan
dasar dari Partai Komunis Indonesia.
Komunis merupakan sebuah paham atau ideologi yang bersumber dari pemikiran
Karl Marx. Komunis sendiri berasal dari kata commune yang artinya bersama atau bisa diartikan kepemilikan
bersama. Komunisme adalah sebuah ideologi yang tidak mengakui adanya
kepemilikan pribadi atas faktor-faktor produksi. Faktor produksi dapat berupa
tanah, bangunan, mesin, dan lain sebagainya. Komunisme menghendaki adanya
kepemilikan bersama yang biasanya dikelola oleh negara atau partai. Jika faktor
produksi dimiliki oleh pribadi atau golongan saja, maka roda perekonomian hanya
berputar disekitar situ saja, para kaum buruh dan petani tidak akan bisa
menikmati kehidupan yang lebih baik. Pada intinya komunisme bertujuan untuk
menentang adanya kapitalisme.
Namun perlu diketahui lagi bahwa komunisme
khususnya komunisme internasional tidak sepenuhnya berisi pemikiran dari Karl
Marx, namun sebagian berasal dari pemikiran Lenin atau biasa disebut dengan Marxisme-leninisme. Frans Magniz Suseno (1999)
menyatakan bahwa Lenin telah merevisi pemikiran Marx terkait dengan komunisme.
Lenin menambahkan sesuatu yang belum pernah terpikirkan oleh Marx sebelumnya. Marx
sebelumnya begitu yakin bahwa kaum buruh akan semakin tertindas dalam
sistem perekonomian kapitalis dan karena itu mereka juga cenderung makin
revolusioner hingga suatu saat pasti akan meletus revolusi sosial. Marx
meyakini bahwa revolusi akan tercipta benar-benar murni dari kaum buruh yang
telah tertindas dalam waktu yang lama. Pemikiran baru yang disisipkan oleh
Lenin adalah harus adanya Partai politik yang didalamnya tidak hanya terdiri
dari kaum buruh dan petani saja, melainkan harus ada juga kaum intelektual yang
menggerakkan. Pemikiran Lenin inilah yang akhirnya menjadi dasar terbentuknya
partai-partai komunis di seluruh dunia pada dasawarsa awal abad ke-20. Termasuk
juga dengan Partai Komunis di Indonesia yang terbentuk tahun 1924. Tapi dalam
tulisan ini saya tidak akan membahas tentang bagaimana partai komunis Indonesia
terbentuk. Saya akan fokuskan kepada akar konflik yang terjadi diantara PKI dan
orang-orang Islam.
Konflik
yang terjadi antara kaum komunis dengan orang-orang Islam merupakan konflik
yang unik. Dari temuan fakta-fakta sejarah, terdapat sebuah benang merah yang
pada akhirnya bisa diberikan penafsiran bahwa konflik yang terjadi antara PKI
dan orang-orang Islam sudah ada bahkan sejak paham komunis itu sendiri belum
datang ke Indonesia. Konflik yang dimaksudkan
adalah pergesekan antara golongan santri
dan abangan yang merupakan dasar
dari konflik berkepanjangan antara PKI dan umat Islam. Siapakah golongan santri dan abangan?
Clifford
Gertz (1983) dalam bukunya The Religion
of Java membagi masyarakat Islam Jawa menjadi 3 golongan yaitu santri, abangan, dan priyayi. santri adalah masyarakat Jawa yang beragama
Islam dan taat terhadap ajaran-ajaran agamanya. Mereka jarang sekali
meninggalkan setiap ritus ibadah yang diwajibkan oleh agama. Para santri ini
terkadang menyebut diri mereka dengan sebutan “putihan”. Putih melambangkan kesucian dan kebenaran. Mereka lebih
bisa menerima pembaharuan-pembaharuan ajaran agama Islam yang dibawa oleh para
kaum Islam Modernis. Kaum santri pada perkembangannya juga terpolarisasi
menjadi kaum Islam Modernis dan Kaum Islam Tradisional.
Abangan
adalah istilah yang digunakan untuk menyebut golongan masyarakat Islam Jawa
yang tidak begitu taat pada ajaran agamanya. Kaum abangan bisa dikatakan sebagai muslim nominal, mereka memandang
Islam terutama sebagai sumber praktik ritual di tahapan-tahapan tertentu dalam
kehidupan. Seorang muslim abangan
jarang atau bahkan tidak pernah bersembahyang, tidak bisa mengucapkan kalimat
syahadat atau mendaraskan Al Qur’an, jarang atau tak pernah berpuasa di bulan
ramadhan, dan nyaris tidak pernah terpikirkan untuk mengalokasikan uangnya
untuk pergi naik haji ke Mekkah. Akan tetapi, pada waktu kelahiran atau
kematian mereka, kaum abangan akan
berharap bahwa ritual Islam dijalankan. Dan versi-versi tertentu dalam ritual
Islam juga mungkin dilaksanakan pada peristiwa sunatan atau pernikahan
(Ricklefs, 2013:111-113).
Istilah
abangan merupakan sebuah julukan yang
diberikan oleh kaum santri kepada mereka yang beragama Islam namun kurang taat
kepada ajaran agamanya. Julukan ini awalnya bernada seperti ejekan. Arti kata abangan sendiri banyak versi dalam
tafsirannya. Ricklefs (2007) dalam bukunya yang berjudul The Polarising Javanese Society menyebutkan beberapa tafsiran dari
istilah abangan ini. Etimologi yang
berasal dari cerita rakyat Jawa mengklaim bahwa abangan (istilah Jawa Ngoko atau Jawa kasar) berasal dari nama
salah satu wali Islam Jawa yaitu Syekh Lemah Abang atau yang biasa dikenal
dengan Syekh Siti Jenar. Dia dibunuh karena mengajarkan doktrin-doktrin Islam
yang rahasia kepada orang yang belum dianggap layak, meskipun tidak ada bukti
yang kuat mengenai hal ini. Pengambilan kata abangan dari nama Syekh Lemah Abang dianggap oleh kaum santri
sebagai hal yang relevan mengingat keduanya dianggap sebagai penganut Islam
yang tidak taat, atau jarang melaksanakan ritus-ritus agama Islam sebagaimana
yang diajarkan oleh Rasulullah. Etimologi lain yang dimunculkan tentang istilah
Abangan berasal dari kata bahasa arab
yaitu “aba’an” yang mempunyai arti
penolakan, menyanggah. Meskipun penafsiran ini juga lemah untuk diterima.
Golongan
yang terakhir adalah golongan priyayi. Priyayi merupakan sebutan untuk para
bangsawan Islam di Jawa. Kehidupan mereka mewah. Untuk urusan Agama, hampir
sama dengan abangan, mereka tidak
terlalu memperhatikan masalah kewajiban Ibadah dari Agama Islam. Biasanya kaum
priyayi ini lebih sibuk dengan urusan pemerintahan, karena memang di tahun
1850-1942 kaum inilah yang biasanya dekat dengan Belanda, dan merekalah juga
yang biasanya menjadi kaki tangan dari Belanda.
Kedua
golongan pertama merupakan representasi utama dalam identitas sementara
masyarakat Islam Jawa. Golongan ketiga, berada di tengah-tengah dua golongan
tersebut yang merupakan kaum elite yang tidak terlibat langsung gesekan
diantara kedua golongan itu. Terdapat perbedaan yang cukup mencolok dari
kehidupan sosial golongan santri dan abangan
di Jawa. Golongan santri atau putihan termasuk golongan kelas menengah di
tempat mereka tinggal. Biasanya mereka cukup kaya, aktif dalam bisnis,
mengenakan pakaian yang bagus, memiliki rumah yang besar, lebih santun dalam
tindak tanduknya, menghindari opium dan judi, menjalankan rukun-rukun dalam
agama Islam, menyediakan pendidikan yang lebih tinggi bagi anak-anak mereka dan
memperhatikan kedisiplinan mereka. Kaum abangan
lebih miskin, tidak terlibat dalam perdagangan dan tidak memberikan pendidikan
yang memadai bagi anak-anak mereka. Abangan
masih menjalankan beberapa aktivitas religius tertentu, namun mereka
melakukannya atas nama solidaritas sosial. Sementara kaum santri membaca
karya-karya dalam bahasa Arab serta mendiskusikan beragam permasalahan dalam
agama Islam, kaum abangan lebih
memilih untuk menonton wayang dan hiburan-hiburan lain di mana kekuatan
spiritual nenek moyang diperlihatkan (Ricklefs, 2013:51).
Kedua
kelompok tersebut bergaul dengan kalangan yang sepaham dengan mereka
masing-masing. Keduanya memiliki dunia yang terpisah satu sama lain dan jurang
diantara mereka terus melebar. Mereka berbeda dalam hal gaya beragama, kelas
sosial, pendapatan, pekerjaan, cara berpakaian, pendidikan, perilaku, kehidupan
budaya serta cara membesarkan dan mendidik anak. Banyak rentenir Jawa dari kaum
santri sementara banyak pengutang dari kaum abangan,
interaksi diantara mereka telah membawa bibit-bibit kepentingan yang
berseberangan. Pada awal abad ke-20, perbedaan ini semakin meruncing dengan
munculnya persaingan politis.
Pada
awal abad ke-20 dalam sejarah bangsa Indonesia dikenal dengan masa pergerakan
nasional, dimana pada masa itu menyusul diterapkannya politik etis oleh Belanda
akhirnya banyak muncul organisasi-organisasi baik yang bersifat keagaamaan,
nasionalis, dan lain sebagainya. kedua golongan ini mendapatkan tempatnya dalam
politik. Keduanya sama-sama masuk ke dalam partai yang memang representatif
dengan kehidupan dan kebudayaan dari masing-masing mereka. Kaum santri memiliki
wadah baru dua organisasi Islam besar yaitu NU untuk golongan Santri
tradisional dan Muhammadiyah untuk golongan santri yang modernis. Sementara
kaum abangan yang awalnya memang tidak memiliki wadah mereka untuk berekspresi,
akhirnya menemukan wadah mereka dalam Partai Komunis Indonesia. Konstituensi
dari Partai Komunis Indonesia sebagian besar berasal dari golongan abangan, baik dari kaum proletariat di
perkotaan maupun dari kaum petani kecil di desa.
Pada
masa pergerakan nasional, perbedaan pandangan dari kedua golongan ini masih
bisa dikategorikan biasa saja. Keduanya tidak pernah terlibat konflik yang
berarti. Perbedaan diantara keduanya hanya di jalan perjuangan yang ditempuh,
kaum santri memilih untuk berjuang menggunakan cara yang halus melalui
pendidikan dan bidang sosial. Kaum abangan
berjuang dengan cara yang cukup radikal dengan menggunakan
kekerasan-kekerasan. Pergesekan diantara kedua golongan diperkeruh oleh pemerintah Hindia Belanda yang melancarkan politik devide at' impera. seperti yang Tan Malaka katakan dalam pidatonya saat menghadiri kongres komunis Internasional pada tahun 1922. "mereka (pemerintah Hindia Belanda) bilang: lihat Komunis tidak hanya memecah belah, mereka juga ingin merusak agama kalian! itu luar biasa bagi para petani. Mereka (petani Islam) kemudian berfikir: Saya telah kehilangan segalanya di dunia, apakah saya juga harus kehilangan surga? jangan sampai itu terjadi! beginilah cara orang muslim sederhana berfikir. Propaganda seperti ini dilakukan oleh agen-agen pemerintah dengan sukses. Maka pecahlah kami."
Puncaknya adalah pemberontakan PKI tahun 1927 kepada pemerintah Hindia Belanda. Setelah pemberontakan itu berhasil dipadamkan oleh pemerintah Hindia Belanda, PKI menjadi bubar, dan para petingginya seperti Semaun dan Muso mengambil jalan yang berbeda. Beruntung, Soekarno mendirikan Partai baru yang beraliran Nasionalis yaitu PNI yang bisa menjadi wadah baru bagi kaum abangan. Tak lama setelah itu, pada dasawarsa tahun 1930an, Hindia Belanda dibawah Gubernur Jenderal De Jong menerapkan kebijakan politik represif dimana organisasi pergerakan sangat dibatasi geraknya, bahkan banyak dari para pejuang pergerakan seperti Soekarno, Hatta, dsb menjadi korban dan akhirnya dipenjara. Pada masa itu kedua golongan seakan tidak terlihat perannya.
Puncaknya adalah pemberontakan PKI tahun 1927 kepada pemerintah Hindia Belanda. Setelah pemberontakan itu berhasil dipadamkan oleh pemerintah Hindia Belanda, PKI menjadi bubar, dan para petingginya seperti Semaun dan Muso mengambil jalan yang berbeda. Beruntung, Soekarno mendirikan Partai baru yang beraliran Nasionalis yaitu PNI yang bisa menjadi wadah baru bagi kaum abangan. Tak lama setelah itu, pada dasawarsa tahun 1930an, Hindia Belanda dibawah Gubernur Jenderal De Jong menerapkan kebijakan politik represif dimana organisasi pergerakan sangat dibatasi geraknya, bahkan banyak dari para pejuang pergerakan seperti Soekarno, Hatta, dsb menjadi korban dan akhirnya dipenjara. Pada masa itu kedua golongan seakan tidak terlihat perannya.
Kondisi
yang cukup mengejutkan terjadi pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945. pada
masa ini umat Islam begitu diperhatikan oleh Jepang, meskipun tujuannya adalah
untuk mengontrol mereka. H. J. Benda (1980) dalam bukunya Bulan Sabit dan Matahari Terbit menyatakan bahwa ketika Jepang
sudah berhasil mendepak Belanda dari Indonesia, prioritas utama Jepang adalah
mengontrol warga, melarang segala aktivitas politik, memadamkan setiap gejolak
dan mengatur ketertiban Masyarakat. ketika mereka merasa bahwa prioritas utama
tersebut telah tercapai, maka mereka kemudian mengalihkan prioritas mereka
untuk memobilisasi masyarakat Jawa, sehingga memperkokoh pertahanan Jepang
terhadap kemungkinan serangan balasan dari tentara sekutu. Untuk bisa
memobilisasi masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam, maka Jepang
mengambil kebijakan untuk merangkul Kyai-kyai Tradisionalis Islam untuk
diberikan sebuah kekuasaan. Kyai-kyai tradisionalis dipilih oleh Jepang karena
dalam diri mereka tidak memiliki tuntutan politik yang radikal (tidak seperti
beberapa politikus Modernis perkotaan) dan mereka juga mempunyai jaringan
sosial yang luas serta sangat dihormati oleh mayoritas masyarakat pedesaan.
Jepang juga menganggap mereka agak naif dan bisa dimanipulasi, tidak seperti
kalangan modernis yang lebih terdidik dengan cara-cara yang modern. Dari
sinilah awal mula proses politisasi yang pada akhirnya menjadikan NU
(organisasi Islam Tradisionalis) menjadi sebuah partai yang potensial di masa
yang akan datang.
Pada
intinya, politik yang dilakukan dengan meng”anak emas”kan para golongan santri
membuat jurang perbedaan antara golongan santri dan abangan semakin melebar. pada awalnya para kyai tradisionalis di
desa-desa merupakan orang yang sangat dihormati baik oleh golongan santri
sendiri maupun oleh golongan abangan. Setelah
politik yang dilakukan oleh Jepang ini, membuat sebagian besar orang abangan merasa semakin tersisihkan dan
menganggap bahwa para kyai dan anak buahnya itu adalah antek-antek Jepang.
Semakin besarlah ketidak senangan golongan abangan
kepada golongan santri. Misalnya saja adalah kasus Kyai Abas yang merupakan
salah satu kyai senior dari pesantren
Buntet di Cirebon. Beliau kehilangan banyak pengaruh sosialnya setelah
memutuskan untuk memberikan dukungannya kepada Jepang (Kurasawa, 1993:326-328).
Pada
periode selanjutnya tepatnya di zaman awal kemerdekaan, berdiri kembali
beberapa partai yang memperlihatkan spektrum dari kedua golongan ini. Berikut
ini partai-partai yang terbentuk pada awal kemerdekaan beserta konstituensi
golongannya
1) Masyumi,
tersusun atas golongan santri, baik modernis maupun tradisional. Santri
modernis terutama tinggal di perkotaan, sementara santri tradisional hidup di
pedesaan. Mengingat karakter pedesaan dari mayoritas penduduk Jawa,
ketertarikan terbesar kita disini adalah kaum santri Tradisional pedesaan
pengikut NU di dalam Masyumi. Ini mencakup para pejuang Hizbullah (nama pasukan
yang dibentuk untuk membela Islam khususnya NU).
2) Pesindo, tersusun
atas milisi pemuda abangan yang berhaluan kiri, tak lama setelelahnya,
berkoalisi dengan Front Demokrasi Rakyat dan kemudian PKI
3) Partai sosialis, berhaluan
kiri dan abangan, tetapi tidak berafiliasi dengan PKI dan, pada kenyataannya
hanya memiliki sedikit pengikut.
4) PKI, terususun
atas warga desa abangan dan kaum proletariat perkotaan
5) PNI, terususun
atas priyayi birokrat dan juga para pengikut dari kalangan abangan.
Pada
masa ini mulai terlihat spektrum persaingan diantara golongan santri dan
abangan dengan masing-masing partai politiknya, yang disebutkan terakhir
khususnya adalah PKI. Persaingan diantara keduanya memunculkan interpretasi-interpretasi
dari masing-masing kubu. Golongan santri tradisional menginterpretasikan
spektrum politik pada masa itu berdasarkan Qur’an surah 56:27-56. Surah ini
menyatakan bahwa terdapat dua golongan manusia di dunia yaitu “golongan kanan”
dan “golongan kiri”. Pada hari penghakiman, mereka yang berada pada “golongan
kanan” akan memperoleh kenikmatan akhirat, sedangkan mereka yang berada pada
“golongan kiri” akan memperoleh siksa yang pedih di akhirat (zuhri, 2013:322).
Hal ini membuat persaingan dan permusuhan di kedua golongan ini semakin
meruncing.
Puncak
konflik yang pertama antara abangan (PKI)
dan golongan santri terlihat dalam pemberontakan yang dilakukan oleh PKI tahun
1948. Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI yang bekerjasama dengan Pesindo dan
FDR dengan pemimpin mereka yaitu Amir Syarifudin dan Muso merupakan sebuah
tindakan ketidakpuasan atas kinerja pemerintahan Soekarno dan Hatta. Sebenarnya
masalahnya murni adalah masalah politik dan ideologis saja. Celakanya, dalam
pemberontakan yang terjadi di Madiun dan beberapa kota lain seperti Surakarta,
Kudus, Magetan dan masih banyak lagi ini, menyasar bukan hanya orang-orang
pemerintahan saja, melainkan semua golongan yang berada di luar PKI, terutama
orang-orang Islam. Tercatat pada bulan september 1948 pasukan komunis (aktivis
FDR, laskar Pesindo, dan pasukan militer yang pro PKI) dalam jumlah yang besar
menyerang pesantren-pesantren di berbagai daerah, membantai para kyai dan umat
Islam, kaum nasionalis (pendukung PNI), dan pamong praja yang anti komunis
(Kuntowijoyo, 1997:133-136).
Saifudin
Zuhri (2013:360) menyatakan bahwa pemberontakan PKI di Madiun itu diawali
dengan perampokan-perampokan, pembakaran, penculikan yang terutama ditujukan
kepada para kyai, para mubaligh, tokoh-tokoh Masyumi dan pegawai negeri
terutama kalangan pamong praja yang sebagian besar anggota PNI. Keterangan yang
menyatakan bahwa sasaran utama PKI adalah para kyai dan dan para mubaligh bisa
jadi merupakan buntut dari pergesekan orang-orang PKI (abangan) dengan golongan santri yang sudah terbangun sejak lama.
Sedangkan sasaran yang ditujukan kepada orang-orang PNI bisa jadi dikarenakan
mereka adalah partainya pemerintah. Beruntung
pemberontakan ini berhasil dipadamkan oleh militer pemerintah dan para pasukan
Hizbullah. Perlawanan yang dilakukan oleh para pasukan Hizbullah terhadap para
anggota PKI menurut mereka merupakan sebuah seruan Jihad.
Warisan
dari pemberontakan PKI Madiun 1948 ini adalah terbangunnya antipati golongan
santri-abangan yang pada waktu
selanjutnya makin dipertegas dan dipupuk oleh persaingan partai politik. Dalam
persaingan politik pada tahun-tahun selanjutnya, partai-partai yang
terinspirasi oleh Islam dan mempresentasikan kostituensi dari para santri
tampil berhadap-hadapan dengan PKI dan konstituensi abangannya. Warisan lainnya adalah bahwa angkatan darat juga kini
sepenuhnya memandang PKI sebagai musuh karena PKI dianggap berusaha untuk
menusuk Revolusi dari belakang ketika keadaan tengah genting-gentingnya oleh
upaya Belanda untuk kembali ke Indonesia (Ricklefs, 2013:147).
Periode
revolusi berakhir ditandai dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia oleh
Belanda pada desember tahun 1949. Pada masa-masa selanjutnya persaingan antara
kaum abangan dan santri terwujud
dalam perpolitikan yang semakin memanas. Menurut McVey (1983) pada periode
parlementer (1950-1959) ini ditandai dengan semakin berkembangnya identifikasi
komunal sebagai landasan politik. Posisi abangan
direpresentasikan terutama oleh PNI, yang mencerminkan nilai-nilai priyayi
bangsawan dari kaum abangan elite yang konservatif, sementara daya tarik PKI
yang komunis sebagai partainya masyarakat kelas bawah terus menggerus basis
petani dan buruh PNI. Kaum santri terbelah antara Masyumi, yang modernis dan NU
(sudah menjadi partai sendiri) yang merepresentasikan masyarakat santri
pedesaan Jawa yang saleh. Diantara kaum abangan
Jawa, kemandekan politis dan kemiskinan ekonomis mengakibatkan semakin
tumbuh dan berkembangnya paham komunis.
Persaingan
politik diantara kaum abangan (PKI)
dan kaum santri (NU dan Masyumi) menjadi semakin memanas menjelas pemilihan
umum tahun 1955. Pada masa kampanye berbagai rumor dan fitnah yang tak
bertanggung jawab merebak dimana-mana. Ketakutan dari kaum abangan dan santri dimanipulasi baik di pedesaan maupun di
kota-kota kecil. Kaum abangan khawatir bahwa bila NU dan Masyumi yang menang
akan membuat mereka ditindas, sementara di pihak santri beredar rumor bahwa
kemenangan PKI berarti pembunuhan kepada para Kyai. NU mencoba meyakinkan
kalangan siwi sekolah bahwa kampanye 1955 adalah perjuangan hidup atau mati.
Bahkan salah seorang diantara mereka diberitahu, demikian kenangnya “jika
engkau tidak membantu NU agar menang, PKI akan menang, dan engkau akan di bacok
sampai mati” (Ricklefs, 2013:170).
NU
menggunakan khotbah Jum’at untuk propaganda politik, sedangkan PKI memanfaatkan
kesenian-kesenian rakyat demi tujuan yang sama. Slogan-slogan dan
platform-platform dari semua partai yang mengikuti pemilu selalu
didengung-dengungkan setiap saat. NU mempropagandakan bahwa setiap suara yang
diberikan kepada partai serupa dengan selangkah lebih dekat ke surga, dan itu
seperti pergi ke medan Perang Jihad. Dalam khotbah salat Jum’at, beberapa Kyai
mengatakan kepada umat yang hadir bahwa hukumnya wajib bagi kaum Muslim untuk
memilih NU (Frealy, 2008:143-145). Di desa-desa, PKI dan front petaninya, BTI,
menekankan bahwa PKI akan membagi-bagikan tanah kepada mereka yang tidak
memiliki tanah dan bahkan tak jarang menjanjikan bidang tanah kepada mereka
yang bersedia memilih PKI. PKI mengatakan bahwa PNI adalah partainya kaum
priyayi elite, Masyumi dan NU adalah partainya kaum santri, dan PKI adalah
partainya rakyat. PKI itu sendiri berusaha untuk menghindari kesan sebagai
partai yang sepenuhnya anti agama sembari memposisikan dirinya sebagai partai
kaum abangan (dengan “agama Jawa”nya), sedangkan kaum santri tak henti-hentinya
menekankan aspek ateistik dari komunisme (Feith dalam Ricklefs, 2013:176).
Hasil
pemilu tahun 1955 menunjukkan bahwa
terdapat empat besar partai yang menduduki posisi teratas pemilihan umum di
Jawa Timur yaitu (1) NU sebanyak 37%, (2) PNI sebanyak 25%, (3) PKI sebanyak
25%, dan (4) Masyumi sebanyak 13%. Di Jawa Tengah (1) PNI sebanyak 38%, (2) PKI
sebanyak 29%, (3) NU sebanyak 22%, dan (4) Masyumi sebanyak 11%. Pada pemilu
tahun 1957 tidak begitu terdapat
perubahan yang signifikan dari keempat partai tersebut dalam hal jumlah suara.
Di Jawa Timur (1) NU sebanyak 35%, (2) PKI sebanyak 32%, (3) PNI sebanyak 22%,
dan (4) Masyumi sebanyak 11%. Di Jawa Tengah (1) PKI sebanyak 37 %, (2) PNI
sebanyak 30 %, (3) NU sebanyak 23%, dan (4) Masyumi sebanyak 10% (Ricklefs,
2013:181-182). Berdasarkan data ini, dapat kita ambil informasi bahwa di Jawa
Tengah lebih banyak golongan abangan dibanding
gologan santri, sedangkan di Jawa Timur lebih banyak golongan santri
dibandingkan dengan golongan abangan. Informasi
lain yang tidak kalah pentingnya adalah PKI menjadi partai yang mendapatkan
peningkatan suara yang cukup banyak baik di Jawa Timur maupun di Jawa Tengah.
Menunjukkan bahwa PKI pada masa itu menjadi sebuah partai populer, yang mampu
menyaingi ketiga partai lainnya meskipun terdapat sejarah kelam yang telah
ditorehkan partai ini.
Pada
periode selanjutnya, saat Soekarno menjabat sebagai presiden setelah
dikeluarkannya dekrit tahun 1959 kepopuleran PKI semakin melambung tinggi. Dari
yang awalnya hanya beranggotakan 50.000 orang saja, dengan sekejap melambung
tinggi hingga mencapai 1,5 juta pengikut, sebuah pencapaian yang luar biasa
jika melihat track record partai ini yang kerap erat dengan kekerasan. PKI mengubah
posisi ideologisnya dengan mendukung Soekarno dan ideologi yang
diperkenalkannya. PKI mencoba untuk mencari perlinfungan dari lawan-lawan
politiknya yang mesti dihadapinya dan meyakini bahwa Soekarno merepresentasikan
harapan terbaik mereaka untuk meraih kekuasaan. Pada awal dasawarsa 1960-an
nyaris tidak ada perbedaan yang tampak nyata antara ideologi komunis dan
ideologi soekarnoisme. Sementara itu, NU mencoba bertahan dengan kekuatannya
sendiri di tengah realitas politik yang kacau dengan cara tetap menerima
otoritas politik yang ada sembari tetap mencari aman serta mengindari bahaya.
Keputusan
Soekarno merangkul kaum komunis hingga menaruh mereka di jajaran pemerintahan
merupakan sebuah pilihan yang dianggap sebagai blunder oleh sebagian orang.
Banyak orang yang akhirnya menganggap bahwa Soekarno adalah seorang komunis,
padahal tidak. Soekarno dalam bukunya Dibawah
Bendera Revolusi menjelaskan panjang lebar tentang alasan mengapa dia
merangkul komunis juga. Intinya adalah hanya untuk menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dia tidak mau terjadi perang saudara yang
akhirnya bisa membuat keuntungan bagi NEKOLIM untuk masuk kembali ke Indonesia.
Namun tetap saja, keputusan itu menjadi blunder dan dijadikan oleh para
musuhnya sebagai senjata untuk melengserkan dia dari kursi Presiden Republik
Indonesia.
Tahun
1963-1964 terjadi kekacauan sosial di berbagai daerah di Jawa. PKI melancarkan
aksi sepihak pengambilan paksa tanah-tanah yang berkelebihan yang kebanyakan
dimiliki oleh para haji dan kyai kaya di Jawa. Aksi ini dilakukan oleh PKI
sebagai bentuk protes kepada pemerintah karena UU reformasi pertanahan yang
sudah disahkan tahun 1959-1960 masih belum juga diimplementasikan. Aksi sepihak
PKI ini justru memberi keuntungan bagi institusi-institusi
Islam, sebab banyak para Kyai tuan tanah itu lebih memilih untuk memberikan
tanahnya kepada pesantren, masjid, langgar atau lembaga-lembaga lain sebagai
tanah wakaf dari pada harus jatuh ke tangan musuh mereka,
komunis. Akibatnya banyak terjadi penyerangan atas rumah, pesantren, perusakan
ladang , serta pembunuhan terhadap lawan di berbagai tempat di Jawa.
Akhirnya
puncak konflik diantara keduanya adalah setelah terjadinya peristiwa G30S (saya
tidak akan menjelaskan bagaimana alur peristiwa G30S, silahkan baca sendiri di
berbagai sumber terbaru misal, buku John Rossa dg judul Dalih Pembunuhan Masal. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang
konon katanya adalah kudeta yang akan dilakukan oleh PKI dan kawan-kawannya. Mereka
membunuh para Jenderal Angkatan Darat yang disponsori oleh Amerika yang
diyakini akan melakukan kudeta kepada Soekarno. Upaya kudeta ini berhasil
digagalkan oleh Soeharto yang pada waktu itu menjabat sebagai panglima Kostrad.
Soeharto dengan cerdas mulai mengambil alih pimpinan militer dan mulai
melakukan berbagai tindakan bagi penggantian Soekarno sebagai presiden yang
bisa disebut dengan Coup d’etat.
PKI
menjadi pihak yang dipersalahkan dalam peristiwa itu oleh pihak militer dan
lawan-lawan politiknya dari pihak santri. Di Jakarta dan kota-kota lain, para
aktivis pemuda dari beragam latar belakang dengan dukungan militer membentuk
kelompok-kelompok untuk menyerang anggota PKI dan harta benda mereka. Di Jawa
Tengah dan Jawa Timur kekerasan sosial juga merebak dengan skala yang belum
pernah terjadi sebelumnya. Peran militer di kedua wilayah ini berbeda dengan
tempat lainnya. Kepelikan muncul karena Kodam Diponegoro dan Kodam Siliwangi
merupakan dua divisi militer yang berhasil diinfiltrasi oleh PKI. Beberapa
elemen dari mereka secara tegas berpihak kepada mereka yang melakukan kudeta di
Jakarta. Oleh karena itu, penggerak utama dari pasukan pemburu dan pembunuh PKI
di wilayah paling terpencil bukanlah dari kalangan militer, melainkan Ansor dan
para kyai di pedesaanlah yang memobilsasi murid-murid pesantren mereka dengan
cara yang serupa pada tahun 1948 setelah pemberontakan PKI Madiun. Kebanyakan
militer dan para kaum santri menggunakan memori kelam tahun 1948 sebagai motor
penggerak pemusnahan massal orang-orang PKI. Rumor dan pamflet berisi tuduhan
dan prasangka-prasangka ditemukan di mana-mana. Dipercayai bahwa sebenarnya PKI
telah menyiapkan peralatan untuk mencungkil mata musuh-musuh mereka dan
memasukkan mayat-mayat para kyai yang sudah mereka bunuh ke dalam sumur
(Sulistyo, 2000:175).
Upaya
pembersihan ini berlangsung mudah. Tidak banyak aktifis PKI yang mencoba
melawan nasib yang menimpa mereka. Pihak yang dulunya telah mengambil langkah
ofensif dengan melancarkan kampanye aksi sepihak kini tampak begitu saja
menerima kenyataan bahwa mereka kalah dan kematian telah menanti mereka. Hanya
sedikit tokoh atau pengikut PKI yang berhasil kabur, sebab di daerah pedesaan
di Jawa pada waktu itu nyaris tidak mungkin pindah ke suatu tempat wilayah baru
tanpa diketahui orang lain. Dalam satu dari sedikit kasus perlawanan PKI, kaum
komunis berusaha mempertahankan diri mereka dengan pentung dan panah. Contoh
saja di Kediri, banyak korban dipenggal kepalanya di tepian sungai Brantas dan
mayat-mayat mereka dibuang begitu saja ke airnya. Meskipun ada beberapa korban
dari anggota Banser yang terbunuh dalam bentrokan tahun itu, namun tidak ada
keraguan korban terbanyak adalah dari pihak abangan
yang beralisansi dengan PKI (Sulistyo, 2000:181).
Begitulah
akar konflik yang terjadi antara PKI dan orang-orang Islam. Jadi pada intinya
konflik besar ini hanya berawal dari pergesekan sosial, meningkat menjadi
kecemburuan sosial, dan diperparah oleh adanya kepentingan-kepentingan politik.
Sebab memang politik selalu menggunakan sentimen-sentimen kejelekan lawannya
untuk memenangkan pertarungan politik. Tidak dapat dipungkiri bahwa politik lah
yang menjadi kunci membesarnya konflik diantara keduanya. Bahkan sekarangpun,
perpolitikan di Indonesia mencoba menggunakan sentimen-sentimen lama tentang
konflik kedua kubu ini yang sebenarnya sudah berakhir pada pertengahan
dasawarsa 1960an. Jelas bagi orang yang mengetahui sejarah konflik diantara
kedua kubu, pasti sadar bahwa isu-isu tentang PKI yang mulai dibangkitkan lagi
akhir-akhir ini hanyalah alat politik untuk memperoleh sebuah kekuasaan saja.
Seperti kata Franz Magniz Suseno dalam wawancaranya, dia mengatakan bahwa
“komunisme tidak akan bangkit lagi, sebab komunisme merupakan paham yang telah
usang. Kita bisa lihat di Rusia ambruk, Tiongkok membebaskan diri. Hanya
tinggal Korea Utara, dan tak ada negara yang mau menjadi seperti Korea Utara”.
Jadi marilah kita belajar untuk peka terhadap isu-isu tentang sejarah. Sebab
memang tak dapat dipungkiri bahwa memori-memori lama sejarah bangsa ini kerap
kali dijadikan sebagai senjata politik, dan itu sudah biasa.
DAFTAR RUJUKAN
Benda,
H. J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari
Terbit. Bandung: Dunia Pustaka Jaya.
Frealy,
Greg, and Sally. 2008. Islam and Ideology
in The Emerging Indonesian State. Singapore: ISEAS.
Gertz,
Clifford. 2014. Agama Jawa: Abangan ,
Santri, Priyayi. Depok: Komunitas
Bambu.
Kuntowijoyo.
1997. Sejarah Perjuangan Hizbullah
Sabilillah Divisi Sunan Bonang. Surakarta: Yayasan Bhakti Utama.
Kurasawa.
1993. Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan
Sosial di Pedesaan 1942-1945. Depok: Komunitas Bambu.
Ricklefs,
M. C. 2013. Mengislamkan Jawa. Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta.
Ricklefs,
M. C. 2007. The Polarising Javanese
Society: Islamic and other visions. Singapore: Singapore University.
Sulistyo,
Hermawan. 2000. Palu Arit di Ladang Tebu:
Sejarah Pembanyaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966). Yogyakarta:
Yayasan Adikarya IKAPI.
Suseno,
Frans Magniz. 1999. Pemikiran Karl Marx:
dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Zuhri,
Saifudin. 2013. Berangkat dari Pesantren.
Yogyakarta: LkiS.
Mudah-mudahan tulisan
ini bermanfaat. Jika ingin filenya, langsung hubungi saya di email: ariefmuhammadramdhani@gmail.com.
Saya kasih gratis.
Wassalamualaikum. VIVA
HISTORICA!!!!
Kamis, 22 Juni 2017
MAKNA DAN TUJUAN SEJARAH
MAKNA
DAN TUJUAN SEJARAH
(The
Meaning and Goal of History)
Sejarah
merupakan ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi
pada masa lampau tentang kehidupan manusia. Secara garis besar, sejarah itu
dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu pertama adalah proses sejarah yang
berarti aktualisasi dari peristiwa yang benar terjadi di masa lampau. Kedua adalah
penulisan sejarah (Historiografi) yang berarti adalah kisah yang dituliskan
berdasar peristiwa itu.
Peristiwa sejarah merupakan sebuah
proses. Proses berjalannya kehidupan manusia pada saat itu. Proses bisa juga
diartikan sebagai usaha. Di dalam sebuah proses atau usaha, terdapat sebuah
kebermaknaan. Usaha dapat dikatakan ber”makna” apabila proses atau usaha itu
dapat mencapai sebuah tujuan yang memang sudah dicita-citakan. Contoh kongkrit
misalnya, saya sedang berusaha untuk pergi ke restoran, makna dari saya pergi
ke restoran adalah agar saya dapat melaksanakan tujuan saya, yaitu membeli
makanan. Makna dan tujuan adalah dua hal yang berbeda, namun keduanya saling
terikat satu sama lain.
Secara
harfiah “makna” mempunyai arti maksud pembicaraan dan tujuan mempunyai arti
sesuatu yang dituju. Berbicara mengenai makna dan tujuan sejarah, bahasan
semacam ini akan cukup membingungkan, tetapi jika dipahami dengan pelan pelan
dan hati hati, bahasan tentang makna dan tujuan sejarah ini akan bisa dipahami
dan menjadikan kita lebih menghargai setiap proses sejarah itu.
Mengenai
makna proses sejarah, terdapat empat tafsiran mengenai “makna” itu sendiri
yaitu:
1)
Pertama, sebagai sebuah pertanyaan
mengenai tujuan terakhir, yang dilaksanakan dalam perjalanan proses sejarah.
2) Kedua, sebagai pertanyaan mengenai arti proses sejarah.
3) Ketiga, sebagai pertanyaan mengenai tujuan dan gunanya pengkajian sejarah.
4) Keempat, sebagai pertanyaan mengenai arti pengkajian sejarah (pertanyaan mengenai arti semua telaah sejarah mengenai masa silam)
2) Kedua, sebagai pertanyaan mengenai arti proses sejarah.
3) Ketiga, sebagai pertanyaan mengenai tujuan dan gunanya pengkajian sejarah.
4) Keempat, sebagai pertanyaan mengenai arti pengkajian sejarah (pertanyaan mengenai arti semua telaah sejarah mengenai masa silam)
Tafsiran-tafsiran
di atas intinya adalah pertanyaan apa sebenarnya “makna” dari sejarah dan
pengkajian sejaran itu sendiri. Untuk menjawab apa “makna” dari proses sejarah
dan pengkajian sejarah, tentunya kita harus tau terlebih dahulu mengenai tujuan
dari proses sejarah dan pengkajian sejarah itu. Sebuah proses sejarah akan
bermakna jika, proses sejarah itu telah berhasil mencapai tujuan yang
dicita-citakan oleh pelaku-pelaku sejarah itu sendiri. Untuk lebih menjelaskan
mengenai makna dan tujuan proses sejarah, saya akan memberikan contoh
berdasarkan filsafat sejarah dari para ahli.
Salah satu tokoh filsafat spekulatif
yang cukup terkenal dan bahkan pemikirannya sampai sekarang masih dijadikan
sebagai ideologi oleh beberapa negara adalah Karl Marx. Dalam sejarah
spekulatif yang dikemukakan oleh Karl Marx, dia menyatakan bahwa gerak sejarah
umat manusia ini bersifat progresive atau menuju ke arah kemajuan. Motor
penggerak dari sejarah itu sendiri menurut Marx adalah materi, yang dimaksud
materi oleh Marx adalah semua benda benda produksi atau kerja
sosial yang dilakukan oleh manusia. Material lah yang membuat manusia bergerak
dan melakukan kegiatan di muka bumi ini.
Material itulah yang membuat sebuah proses sejarah
manusia berjalan. Marx membagi proses sejarah umat manusia menjadi beberapa
bagian yaitu:
1) Masyarakat
Asiatik (absence of private land property, unchanging, need exogen factor breaking
up isolation)
2) Masyarakat
Kuno (families forming tribal units, communal property ownerships)
3) Masyarakat
Feodal (wind mill and land accumulation by landlords)
4) Masyarakat
Borjuis/kapitalis (steam engine)
5) Masyarakat
Sosialis
Pergantian fase adalah hasil perubahan
teknologis (instrumen produksi). Sejarah Berakhir dengan terbentuknya
masyarakat sosialis tanpa kelas. Jadi tujuan proses sejarah menurut Marx adalah
Masyarakat Sosialis Tanpa Kelas.
Pertanyaannya
adalah apakah proses pergantian masyarakat itu adalah sesuatu yang mempunyai
makna? Untuk menjawabnya tentu kita harus melihat tujuan dari proses itu
sendiri dulu. Tujuan proses sejarah menurut Marx adalah Masyarakat Sosialis
Tanpa Kelas. Kita melihat pada waktu ini masyarakat tanpa kelas sudah tercapai
di beberapa negara sosialis Komunis, meskipun tidak sepenuhnya seperti yang
Marx cita-citakan, namun anggap saja tujuan dari proses sejarah menurut Marx
sudah tercapai. Jika tujuan itu sudah tercapai maka barulah kita bisa
memberikan makna bahwa proses menuju masyarakat sosialis tanpa kelas itu adalah
sebuah perjuangan berat yang dikatakan berhasil. Namun yang menjadi pertanyaan
lagi adalah, jika masyarakat sosialis tanpa kelas itu merupakan tujuan akhir
dari proses sejarah, seharusnya proses sejarah itu sudah tidak berjalan lagi
atau berhenti, namun mengapa sampai saat ini negara-negara yang sudah berpaham
sosialis komunis tanpa kelas masih berproses menuju sebuah tujuan baru yang
lebih baik? Apakah benar proses sejarah itu mempunyai tujuan akhir? Jika proses
sejarah itu tidak mempunyai tujuan akhir, bukankah berarti proses sejarah itu
sendiri secara intrinsik tidak mempunyai makna sama sekali. Sebuah hal yang
mungkin membingungkan.
Mari
kita coba lihat contoh filsafat sejarah lain yang mempunyai tujuan akhir yang
cukup abstrak. Salah satu filsuf sejarah abad pertengahan yang cukup terkenal dengan
aliran religiusnya adalah Santo Agustinus. Menurut Agustinus, terdapat 6
periode utama dalam sejarah yaitu:
1) Periode
dari Adam hingga Nuh
2) Periode
dari Nuh hingga Abraham
3) Periode
dari Abraham hingga David
4) Periode
dari David hingga Pembuangan
5) Periode
dari Pembuangan hingga Kelahiran Kristus
6) Periode
dari Kelahiran Kristus hingga Pengadilan terakhir (Kiamat).
Menurutnya, sejarah akan berakhir
pada masa istirahat dalam abadi bersama Tuhan / ALLAH. Santo Agustinus
menyebutkan bahwa dunia ini terbagi menjadi dua yaitu Kota Tuhan dan Kota
Manusia. Kota Tuhan dibentuk oleh Cinta Tuhan, Kota Manusia dibentuk oleh Cinta
diri. Kedua kota ada bersama-sama (koeksistensi) sepanjang sejarah manusia.
Kapan berakhir? Pada hari kebangkitan dan pengadilan terakhir. Kedua kota akan
dipisahkan dengan dua takdir berbeda: Surga (heaven) atau Neraka (hell).
Proses
sejarah menurut Agustinus adalah kehidupan untuk mencari ridho Tuhan. Apakah kehidupan
itu bermakna? Kehidupan manusia dikatakan bermakna jika manusia mampu mencapai
tujuan akhir yaitu “Kota Tuhan” dimana terdapat cinta Tuhan disana. Tetapi yang
menjadi masalah dalam filsafat sejarah Agustinus ini adalah tujuan akhir
manusia itu bersifat abstrak. Sehingga pada kenyataannya, kita tidak dapat
memberikan makna kepada proses belangsungnya kehidupan manusia di dunia, apakah
sudah bermakna atau belum, karena manusia tidak pernah tau kemanakah manusia
akan menuju kelak, ke Surga atau Neraka.
Berdasarkan
pembahasan di atas, sungguh sangat membingungkan memahami makna dan tujuan
sejarah. Sebagian kalangan mengkritik gagasan tentang sejarah yang memiliki
tujuan akhir. Dengan mengandaikan proses sejarah hanyalah sebuah jalan menuju
tujuan akhir sejarah, berarti proses sejarah sendiri hanya mengabdikan dirinya
kepada masa depan, kepada tujuan akhir. Namun sebagian lain sedikit terhibur
dengan gagasan itu, bahwa kehidupan mereka tidak sia-sia, melainkan sebuah
sumbangan untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Kebanyakan masih
merasa tidak puas, karena menganggap bahwa kehidupan sekarang hanyalah jembatan
bagi kehidupan anak cucu kita di masa depan. Lantas apa yang diberikan anak
cucu kita di masa depan nanti? Apakah usaha dan penderitaan manusia di saat ini
benar-benar sebuah sumbangan untuk kehidupan yang lebih baik kelak? sebuah yang
bermakna? Atau hanya kesia-siaan belaka?. Pertanyaan-pertanyaan hanya bisa
dijawab oleh anak cucu kita di masa depan, sebagaimana kita bisa menjawab
kebermaknaan usaha para pendulu kita.
Jadi pada
dasarnya, makna sejarah terletak kepada “masa kini”. Proses Sejarah itu tidak akan
bermakna jika bukan kita sendirilah yang memaknainya. Menurut Kant and Popper, Manusia
harus memberikan makna kepada
sejarah, karena baru demikian perbuatan/kejadian dapat disusun secara
kait-mengait, dan dapat diarahkan ke hari depan.
Dengan
memberikan makna kepada proses sejarah, maka kita juga akan mengetahui apakah
usaha-usaha yang dilakukan para pendahulu kita itu adalah sebuah sumbangan
terhadapa masa kini ataukah hanya kesia-siaan belaka, semuanya tergantung
kepada si pemberi makna itu sendiri.
Pemberian makna
terhadap proses sejarah ini sendiri juga berguna terhadap kehidupan masa kini
sebagai sebuah kearifan. Seperti yang dikatakan oleh pepatah lama, “Historia Magistra Vitae” yang artinya
adalah sejarah bertindak sebagai guru
terbaik dalam hidup. Dalam proses sejarah terdapat makna-makna yang dapat kita
berikan dan kita ambil pelajaran dari makna-makna itu. sebagai orang Islam,
kita juga telah dianjurkan untuk mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa
sejarah, sebagaimana Firman Allah dalam QS. Yusuf: 111, “sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’am itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman”.
SEMOGA
BERMANFAAT
^_^
Langganan:
Postingan (Atom)