Rabu, 06 Mei 2020

ORANG-ORANG KUNLUN



"Nenek moyangku seorang pelaut", begitulah judul lagu anak-anak yg kerap kali dinyanyikan pas masa TK dulu. nampaknya Ibu Soed tau betul masa lalu bangsa ini. Bagaimana tidak, fakta-fakta memang menunjukkam bahwa bangsa ini sudah mengarung samudera jauh sebelum zaman kerajaan maritim berjaya.

Tercatat pertama kali dalam sebuah kutipan berita cina pada awal abad ke-3 bahwa orang-orang kunlun, begitu sebutan utk penduduk maritim Nusantara, telah ikut serta dalam pelayaran Faxian.

Pada abad ke-7, dalam prasasti Telaga Batu (Palembang) yg berasal dr kerajaan Sriwijaya terdapat istilah "pawahang", yg brrti kapten kapal dagang. Kemudian pd tahun 827M istilah yg sama ditemukan dlm prasasti Dang Puwahang Gelis. Dua abad kemudian "puwahang" muncul lagi dlm prasasti Kamaglayan yg berasal dr masa pemerintahan Airlangga. Hal itu menunjukkan bahwa dr masa ke masa pelayaran samudra ttp menjadi pilihan hidup bangsa ini.

Terlebih lagi banyak sumber-sumber luar sejak abad 5 yg mencatat ttg hubungan dagang dg orang-orang yg berasal dr Jawa dan Sumatera. Sebut saja bbrapa sumber cina yg menyebut pulau "Ye-po" yg brti "yawadwipa" atau Jawa. Juga catatan dr sumber arab yg menyebut "Javaga" yg brrti sumatera. Hal ini semakin memperkuat bukti bahwa bangsa ini adl bangsa pelaut.

Sedang Gambar adl relief candi Borobudur ttg perahu bercadik yg digunakan pada masa Medang dan Sriwijaya yg menjadi saksi bisu kejayaan pelayaran masa lalu orang-orang Kunlun.

SARUNG DAN SEJARAH

Sarung hanyalah sebuah kain yang dijahit di bagian kedua ujungnya sehingga bentuknya menyerupai tabung. Tak ada yg istimewa dari bentuknya, namun jangan salah, di Nusantara sarung istimewa dalam identitas dan sejarahnya.

Sejak masuknya Islam ke Nusantara, pembangunan budaya Islam begitu masif terjadi, sehingga muncullah kelas sosial baru yg kita sebut dengan golongan Santri. Golongan yg menurut Gertz adl golongan yg identik dg ketaatannya dalam menjalankan syariat Islam. Kaum inilah yg menjadikan sarung sebagai identitas kolektif mereka.

Pada abad-19, kuatnya pengaruh dan kedudukan kaum santri di tatanan sosial masyarakat Nusantara berimbas pada "ketakutan" kolonial kepada kaum ini. Sehingga sarung dijadikan sebuah steriotip negatif, dimana menurut meraka sarung adalah simbol keterbelakangan, dan kaum sarungan adalah kaum yg terbelakang.

Steriotip ini melekat cukup lama, hingga akhirnya pada abad awal abad ke 20 steriotip itu dijungkir balikan oleh sebuah foto fenomenal dari sang "kesatria piningit" H.O.S. Tjokroaminoto. Dalam potret itu Tjokroaminoto mengenakan sarung dan peci dg tatapan tajam yg menandakan perlawanan. Potret ini tak membuat pamor Tjokroaminoto turun, ttp sbaliknya pamor sarung lah yang naik. Sejak saat itu sarung trus menjadi sebuah identitas kolektif dan simbol perjuangan kaum santri dalam membangun bangsa ini.

Jadi tidak berlebihan jika sekarang dikatakan bahwa sarung adalah salah satu identitas nasional. Mengingat memang sarung telah menjadi saksi bisu sejarah bangsa ini.

JAVA MAJOR



Mungkin banyak dr kita yg bertanya-tanya mengapa Jawa menjadi pulau ''utama'' bagi Indonesia, bahkan bisa dikatakan pusatnya Indonesia. Tentu hal itu bukanlah sebuah kebetulan semata. Ada banyak faktor yg membuat Jawa menjadi begitu istimewa.
Faktor utamanya adalah memang karena Tuhan telah memberikan berkah yg luar biasa bagi Jawa dalam hal kondisi geografisnya. Di Jawa terdapat gunung-gunung api yg tdk saling berbaris menyambung seprti halnya di Sumatera, melainkan terdapat lembah-lembah diantaranya yg memungkinkan terjadi kehidupan dan homogenisasi kebudayaan.
Tanah di Jawa berasal dr lapisan tanah muda yg membuat tanahnya lebih subur, ditambah lagi letusan** gunung api yg makin membuatnya semakin subur.
E. C. J. Mohr dlm penelitian pedologinya membuktikan dg jelas bahwa tanah Jawa kaya akan zat basa yg sangat cocok bagi berbagai macam tanaman.
Faktor lainnya adalah, Lombard menyatakan bahwa Jawa, khususnya bagian pesisir utara menjadi tempat persilangan budaya yg sangat masif. Membuat Jawa lebih mudah berkembang dibandingkan pulau yang lain dalam hal kebudayaan. Selain itu, kerajaan-kerajaan seperti Majapahit mampu membangun sistem irigasi dan pemerintahan yang sangat baik pada saat itu yang membuat Jawa semakin solid.
Berdasarkan faktor-faktor itu Jawa menjadi tersohor dikalangan para pelaut Eropa dan Cina. Marcopolo menyebut Jawa dg sebutan JAVA MAJOR utk membedakannya dg pulau-pulau lainnya seprti Sumatera dan Kalimantan yg disebutnya dg JAVA MINOR. Marcopolo memberi nama itu atas dasar informasi para pelaut yg pernah singgah di Nusantara. Menarik jika melihat sebutan yg diberikan oleh Marcopolo, dimana hampir semua pulau di Indonesia diberikan nama JAVA, hanya berbeda ekornya saja. Begitu istimewanya Jawa.
Karena hal-hal itu, Jawa menjadi semakin pesat perkembangannya, baik dalam hal jumlah penduduk maupun kemajuan dalam berbagai bidangnya. Meninggalkan para saudaranya seprti Sumatera dan Kalimantan yg sebenarnya lebih luas dr pada dirinya.

Minggu, 25 Februari 2018

PALU ARIT DAN BULAN SABIT (AKAR KONFLIK PKI DAN ORANG ISLAM DI JAWA)


PALU ARIT DAN BULAN SABIT
(AKAR KONFLIK PKI DAN ORANG-ORANG ISLAM DI JAWA)

Oleh: Arief Muhammad Ramdhani

            Berbicara tentang sejarah bangsa ini, tak pernah kering meski telah digali berkali. Salah satu catatan sejarah Bangsa Indonesia yang menarik, penuh misteri, dan bisa dikatakan menjadi sebuah catatan kelam adalah konflik yang terjadi antara Partai Komunis Indonesia (Palu Arit) dengan orang-orang Islam (Bulan Sabit) di Jawa. Konflik yang berkepanjangan, bahkan atmosfirnya masih digunakan untuk kepentingan politik pada masa kini. Seperti yang banyak orang ketahui bahwa PKI adalah salah satu partai yang dilarang oleh pemerintah. Bukan apa-apa, memang sepak terjang partai ini yang kerap kali lekat dengan radikalisme, pembunuhan, pemerkosaan, dan kekerasan-kekerasan lainnya. Tak dapat dipungkiri bahwa membicarakan PKI bagi sebagian besar bangsa ini seperti membuka kembali luka yang telah kering. Namun sebagai generasi baru, kita wajib mengetahui secara keseluruhan bagaimana konflik-konflik yang ditimbulkan oleh PKI khususnya dengan orang-orang Islam. Kita tidak boleh hanya memandang dari satu sudut saja, namun kita harus memandangnya dari berbagai macam sudut, agar pesan yang disampaikan oleh kepingan sejarah konflik ini bisa tersampai.
            Dalam tulisan ini tentu saya tidak akan membahas semua aspek dalam konflik yang terjadi antara PKI dan orang-orang Islam, karena itu sangat luas. Saya hanya akan menfokuskan tulisan ini kepada sebab musabab dari konflik laten ini. Namun, sebelum masuk ke pembahasan utama, tentu ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu sedikit tentang paham komunisme yang merupakan dasar dari Partai Komunis Indonesia.
            Komunis merupakan sebuah paham  atau ideologi yang bersumber dari pemikiran Karl Marx. Komunis sendiri berasal dari kata commune yang artinya bersama atau bisa diartikan kepemilikan bersama. Komunisme adalah sebuah ideologi yang tidak mengakui adanya kepemilikan pribadi atas faktor-faktor produksi. Faktor produksi dapat berupa tanah, bangunan, mesin, dan lain sebagainya. Komunisme menghendaki adanya kepemilikan bersama yang biasanya dikelola oleh negara atau partai. Jika faktor produksi dimiliki oleh pribadi atau golongan saja, maka roda perekonomian hanya berputar disekitar situ saja, para kaum buruh dan petani tidak akan bisa menikmati kehidupan yang lebih baik. Pada intinya komunisme bertujuan untuk menentang adanya kapitalisme.
 Namun perlu diketahui lagi bahwa komunisme khususnya komunisme internasional tidak sepenuhnya berisi pemikiran dari Karl Marx, namun sebagian berasal dari pemikiran Lenin atau biasa disebut dengan Marxisme-leninisme. Frans Magniz Suseno (1999) menyatakan bahwa Lenin telah merevisi pemikiran Marx terkait dengan komunisme. Lenin menambahkan sesuatu yang belum pernah terpikirkan oleh Marx sebelumnya. Marx sebelumnya begitu yakin bahwa kaum buruh akan semakin tertindas dalam sistem perekonomian kapitalis dan karena itu mereka juga cenderung makin revolusioner hingga suatu saat pasti akan meletus revolusi sosial. Marx meyakini bahwa revolusi akan tercipta benar-benar murni dari kaum buruh yang telah tertindas dalam waktu yang lama. Pemikiran baru yang disisipkan oleh Lenin adalah harus adanya Partai politik yang didalamnya tidak hanya terdiri dari kaum buruh dan petani saja, melainkan harus ada juga kaum intelektual yang menggerakkan. Pemikiran Lenin inilah yang akhirnya menjadi dasar terbentuknya partai-partai komunis di seluruh dunia pada dasawarsa awal abad ke-20. Termasuk juga dengan Partai Komunis di Indonesia yang terbentuk tahun 1924. Tapi dalam tulisan ini saya tidak akan membahas tentang bagaimana partai komunis Indonesia terbentuk. Saya akan fokuskan kepada akar konflik yang terjadi diantara PKI dan orang-orang Islam.
Konflik yang terjadi antara kaum komunis dengan orang-orang Islam merupakan konflik yang unik. Dari temuan fakta-fakta sejarah, terdapat sebuah benang merah yang pada akhirnya bisa diberikan penafsiran bahwa konflik yang terjadi antara PKI dan orang-orang Islam sudah ada bahkan sejak paham komunis itu sendiri belum datang ke Indonesia. Konflik yang dimaksudkan  adalah pergesekan antara golongan santri dan abangan yang merupakan dasar dari konflik berkepanjangan antara PKI dan umat Islam.  Siapakah golongan santri dan abangan?
Clifford Gertz (1983) dalam bukunya The Religion of Java membagi masyarakat Islam Jawa menjadi 3 golongan yaitu santri, abangan, dan priyayi.  santri adalah masyarakat Jawa yang beragama Islam dan taat terhadap ajaran-ajaran agamanya. Mereka jarang sekali meninggalkan setiap ritus ibadah yang diwajibkan oleh agama. Para santri ini terkadang menyebut diri mereka dengan sebutan “putihan”. Putih melambangkan kesucian dan kebenaran. Mereka lebih bisa menerima pembaharuan-pembaharuan ajaran agama Islam yang dibawa oleh para kaum Islam Modernis. Kaum santri pada perkembangannya juga terpolarisasi menjadi kaum Islam Modernis dan Kaum Islam Tradisional.
Abangan adalah istilah yang digunakan untuk menyebut golongan masyarakat Islam Jawa yang tidak begitu taat pada ajaran agamanya. Kaum abangan bisa dikatakan sebagai muslim nominal, mereka memandang Islam terutama sebagai sumber praktik ritual di tahapan-tahapan tertentu dalam kehidupan. Seorang muslim abangan jarang atau bahkan tidak pernah bersembahyang, tidak bisa mengucapkan kalimat syahadat atau mendaraskan Al Qur’an, jarang atau tak pernah berpuasa di bulan ramadhan, dan nyaris tidak pernah terpikirkan untuk mengalokasikan uangnya untuk pergi naik haji ke Mekkah. Akan tetapi, pada waktu kelahiran atau kematian mereka, kaum abangan akan berharap bahwa ritual Islam dijalankan. Dan versi-versi tertentu dalam ritual Islam juga mungkin dilaksanakan pada peristiwa sunatan atau pernikahan (Ricklefs, 2013:111-113).
Istilah abangan merupakan sebuah julukan yang diberikan oleh kaum santri kepada mereka yang beragama Islam namun kurang taat kepada ajaran agamanya. Julukan ini awalnya bernada seperti ejekan. Arti kata abangan sendiri banyak versi dalam tafsirannya. Ricklefs (2007) dalam bukunya yang berjudul The Polarising Javanese Society menyebutkan beberapa tafsiran dari istilah abangan ini. Etimologi yang berasal dari cerita rakyat Jawa mengklaim bahwa abangan (istilah Jawa Ngoko atau Jawa kasar) berasal dari nama salah satu wali Islam Jawa yaitu Syekh Lemah Abang atau yang biasa dikenal dengan Syekh Siti Jenar. Dia dibunuh karena mengajarkan doktrin-doktrin Islam yang rahasia kepada orang yang belum dianggap layak, meskipun tidak ada bukti yang kuat mengenai hal ini. Pengambilan kata abangan dari nama Syekh Lemah Abang dianggap oleh kaum santri sebagai hal yang relevan mengingat keduanya dianggap sebagai penganut Islam yang tidak taat, atau jarang melaksanakan ritus-ritus agama Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah. Etimologi lain yang dimunculkan tentang istilah Abangan berasal dari kata bahasa arab yaitu “aba’an” yang mempunyai arti penolakan, menyanggah. Meskipun penafsiran ini juga lemah untuk diterima.
Golongan yang terakhir adalah golongan priyayi. Priyayi merupakan sebutan untuk para bangsawan Islam di Jawa. Kehidupan mereka mewah. Untuk urusan Agama, hampir sama dengan abangan, mereka tidak terlalu memperhatikan masalah kewajiban Ibadah dari Agama Islam. Biasanya kaum priyayi ini lebih sibuk dengan urusan pemerintahan, karena memang di tahun 1850-1942 kaum inilah yang biasanya dekat dengan Belanda, dan merekalah juga yang biasanya menjadi kaki tangan dari Belanda.
Kedua golongan pertama merupakan representasi utama dalam identitas sementara masyarakat Islam Jawa. Golongan ketiga, berada di tengah-tengah dua golongan tersebut yang merupakan kaum elite yang tidak terlibat langsung gesekan diantara kedua golongan itu. Terdapat perbedaan yang cukup mencolok dari kehidupan sosial golongan santri dan abangan di Jawa. Golongan santri atau putihan termasuk golongan kelas menengah di tempat mereka tinggal. Biasanya mereka cukup kaya, aktif dalam bisnis, mengenakan pakaian yang bagus, memiliki rumah yang besar, lebih santun dalam tindak tanduknya, menghindari opium dan judi, menjalankan rukun-rukun dalam agama Islam, menyediakan pendidikan yang lebih tinggi bagi anak-anak mereka dan memperhatikan kedisiplinan mereka. Kaum abangan lebih miskin, tidak terlibat dalam perdagangan dan tidak memberikan pendidikan yang memadai bagi anak-anak mereka. Abangan masih menjalankan beberapa aktivitas religius tertentu, namun mereka melakukannya atas nama solidaritas sosial. Sementara kaum santri membaca karya-karya dalam bahasa Arab serta mendiskusikan beragam permasalahan dalam agama Islam, kaum abangan lebih memilih untuk menonton wayang dan hiburan-hiburan lain di mana kekuatan spiritual nenek moyang diperlihatkan (Ricklefs, 2013:51).
Kedua kelompok tersebut bergaul dengan kalangan yang sepaham dengan mereka masing-masing. Keduanya memiliki dunia yang terpisah satu sama lain dan jurang diantara mereka terus melebar. Mereka berbeda dalam hal gaya beragama, kelas sosial, pendapatan, pekerjaan, cara berpakaian, pendidikan, perilaku, kehidupan budaya serta cara membesarkan dan mendidik anak. Banyak rentenir Jawa dari kaum santri sementara banyak pengutang dari kaum abangan, interaksi diantara mereka telah membawa bibit-bibit kepentingan yang berseberangan. Pada awal abad ke-20, perbedaan ini semakin meruncing dengan munculnya persaingan politis.
Pada awal abad ke-20 dalam sejarah bangsa Indonesia dikenal dengan masa pergerakan nasional, dimana pada masa itu menyusul diterapkannya politik etis oleh Belanda akhirnya banyak muncul organisasi-organisasi baik yang bersifat keagaamaan, nasionalis, dan lain sebagainya. kedua golongan ini mendapatkan tempatnya dalam politik. Keduanya sama-sama masuk ke dalam partai yang memang representatif dengan kehidupan dan kebudayaan dari masing-masing mereka. Kaum santri memiliki wadah baru dua organisasi Islam besar yaitu NU untuk golongan Santri tradisional dan Muhammadiyah untuk golongan santri yang modernis. Sementara kaum abangan yang awalnya memang tidak memiliki wadah mereka untuk berekspresi, akhirnya menemukan wadah mereka dalam Partai Komunis Indonesia. Konstituensi dari Partai Komunis Indonesia sebagian besar berasal dari golongan abangan, baik dari kaum proletariat di perkotaan maupun dari kaum petani kecil di desa.
Pada masa pergerakan nasional, perbedaan pandangan dari kedua golongan ini masih bisa dikategorikan biasa saja. Keduanya tidak pernah terlibat konflik yang berarti. Perbedaan diantara keduanya hanya di jalan perjuangan yang ditempuh, kaum santri memilih untuk berjuang menggunakan cara yang halus melalui pendidikan dan bidang sosial. Kaum abangan berjuang dengan cara yang cukup radikal dengan menggunakan kekerasan-kekerasan. Pergesekan diantara kedua golongan diperkeruh oleh pemerintah Hindia Belanda yang melancarkan politik devide at' impera. seperti yang Tan Malaka katakan dalam pidatonya saat menghadiri kongres komunis Internasional pada tahun 1922. "mereka (pemerintah Hindia Belanda) bilang: lihat Komunis tidak hanya memecah belah, mereka juga ingin merusak agama kalian! itu luar biasa bagi para petani. Mereka (petani Islam) kemudian berfikir: Saya telah kehilangan segalanya di dunia, apakah saya juga harus kehilangan surga? jangan sampai itu terjadi! beginilah cara orang muslim sederhana berfikir. Propaganda seperti ini dilakukan oleh agen-agen pemerintah dengan sukses. Maka pecahlah kami."
Puncaknya adalah pemberontakan PKI tahun 1927 kepada pemerintah Hindia Belanda. Setelah pemberontakan itu berhasil dipadamkan oleh pemerintah Hindia Belanda, PKI menjadi bubar, dan para petingginya seperti Semaun dan Muso mengambil jalan yang berbeda. Beruntung, Soekarno mendirikan Partai baru yang beraliran Nasionalis yaitu PNI yang bisa menjadi wadah baru bagi kaum abangan. Tak lama setelah itu, pada dasawarsa tahun 1930an, Hindia Belanda dibawah Gubernur Jenderal De Jong menerapkan kebijakan politik represif dimana organisasi pergerakan sangat dibatasi geraknya, bahkan banyak dari para pejuang pergerakan seperti Soekarno, Hatta, dsb menjadi korban dan akhirnya dipenjara. Pada masa itu kedua golongan seakan tidak terlihat perannya.
Kondisi yang cukup mengejutkan terjadi pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945. pada masa ini umat Islam begitu diperhatikan oleh Jepang, meskipun tujuannya adalah untuk mengontrol mereka. H. J. Benda (1980) dalam bukunya Bulan Sabit dan Matahari Terbit menyatakan bahwa ketika Jepang sudah berhasil mendepak Belanda dari Indonesia, prioritas utama Jepang adalah mengontrol warga, melarang segala aktivitas politik, memadamkan setiap gejolak dan mengatur ketertiban Masyarakat. ketika mereka merasa bahwa prioritas utama tersebut telah tercapai, maka mereka kemudian mengalihkan prioritas mereka untuk memobilisasi masyarakat Jawa, sehingga memperkokoh pertahanan Jepang terhadap kemungkinan serangan balasan dari tentara sekutu. Untuk bisa memobilisasi masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam, maka Jepang mengambil kebijakan untuk merangkul Kyai-kyai Tradisionalis Islam untuk diberikan sebuah kekuasaan. Kyai-kyai tradisionalis dipilih oleh Jepang karena dalam diri mereka tidak memiliki tuntutan politik yang radikal (tidak seperti beberapa politikus Modernis perkotaan) dan mereka juga mempunyai jaringan sosial yang luas serta sangat dihormati oleh mayoritas masyarakat pedesaan. Jepang juga menganggap mereka agak naif dan bisa dimanipulasi, tidak seperti kalangan modernis yang lebih terdidik dengan cara-cara yang modern. Dari sinilah awal mula proses politisasi yang pada akhirnya menjadikan NU (organisasi Islam Tradisionalis) menjadi sebuah partai yang potensial di masa yang akan datang.
Pada intinya, politik yang dilakukan dengan meng”anak emas”kan para golongan santri membuat jurang perbedaan antara golongan santri dan abangan semakin melebar. pada awalnya para kyai tradisionalis di desa-desa merupakan orang yang sangat dihormati baik oleh golongan santri sendiri maupun oleh golongan abangan. Setelah politik yang dilakukan oleh Jepang ini, membuat sebagian besar orang abangan merasa semakin tersisihkan dan menganggap bahwa para kyai dan anak buahnya itu adalah antek-antek Jepang. Semakin besarlah ketidak senangan golongan abangan kepada golongan santri. Misalnya saja adalah kasus Kyai Abas yang merupakan salah satu kyai senior dari pesantren  Buntet di Cirebon. Beliau kehilangan banyak pengaruh sosialnya setelah memutuskan untuk memberikan dukungannya kepada Jepang (Kurasawa, 1993:326-328).
Pada periode selanjutnya tepatnya di zaman awal kemerdekaan, berdiri kembali beberapa partai yang memperlihatkan spektrum dari kedua golongan ini. Berikut ini partai-partai yang terbentuk pada awal kemerdekaan beserta konstituensi golongannya
1)  Masyumi, tersusun atas golongan santri, baik modernis maupun tradisional. Santri modernis terutama tinggal di perkotaan, sementara santri tradisional hidup di pedesaan. Mengingat karakter pedesaan dari mayoritas penduduk Jawa, ketertarikan terbesar kita disini adalah kaum santri Tradisional pedesaan pengikut NU di dalam Masyumi. Ini mencakup para pejuang Hizbullah (nama pasukan yang dibentuk untuk membela Islam khususnya NU).
2)    Pesindo, tersusun atas milisi pemuda abangan yang berhaluan kiri, tak lama setelelahnya, berkoalisi dengan Front Demokrasi Rakyat dan kemudian PKI
3)    Partai sosialis, berhaluan kiri dan abangan, tetapi tidak berafiliasi dengan PKI dan, pada kenyataannya hanya memiliki sedikit pengikut.
4)     PKI, terususun atas warga desa abangan dan kaum proletariat perkotaan
5)     PNI, terususun atas priyayi birokrat dan juga para pengikut dari kalangan abangan.
Pada masa ini mulai terlihat spektrum persaingan diantara golongan santri dan abangan dengan masing-masing partai politiknya, yang disebutkan terakhir khususnya adalah PKI. Persaingan diantara keduanya memunculkan interpretasi-interpretasi dari masing-masing kubu. Golongan santri tradisional menginterpretasikan spektrum politik pada masa itu berdasarkan Qur’an surah 56:27-56. Surah ini menyatakan bahwa terdapat dua golongan manusia di dunia yaitu “golongan kanan” dan “golongan kiri”. Pada hari penghakiman, mereka yang berada pada “golongan kanan” akan memperoleh kenikmatan akhirat, sedangkan mereka yang berada pada “golongan kiri” akan memperoleh siksa yang pedih di akhirat (zuhri, 2013:322). Hal ini membuat persaingan dan permusuhan di kedua golongan ini semakin meruncing.
Puncak konflik yang pertama antara abangan (PKI) dan golongan santri terlihat dalam pemberontakan yang dilakukan oleh PKI tahun 1948. Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI yang bekerjasama dengan Pesindo dan FDR dengan pemimpin mereka yaitu Amir Syarifudin dan Muso merupakan sebuah tindakan ketidakpuasan atas kinerja pemerintahan Soekarno dan Hatta. Sebenarnya masalahnya murni adalah masalah politik dan ideologis saja. Celakanya, dalam pemberontakan yang terjadi di Madiun dan beberapa kota lain seperti Surakarta, Kudus, Magetan dan masih banyak lagi ini, menyasar bukan hanya orang-orang pemerintahan saja, melainkan semua golongan yang berada di luar PKI, terutama orang-orang Islam. Tercatat pada bulan september 1948 pasukan komunis (aktivis FDR, laskar Pesindo, dan pasukan militer yang pro PKI) dalam jumlah yang besar menyerang pesantren-pesantren di berbagai daerah, membantai para kyai dan umat Islam, kaum nasionalis (pendukung PNI), dan pamong praja yang anti komunis (Kuntowijoyo, 1997:133-136).
Saifudin Zuhri (2013:360) menyatakan bahwa pemberontakan PKI di Madiun itu diawali dengan perampokan-perampokan, pembakaran, penculikan yang terutama ditujukan kepada para kyai, para mubaligh, tokoh-tokoh Masyumi dan pegawai negeri terutama kalangan pamong praja yang sebagian besar anggota PNI. Keterangan yang menyatakan bahwa sasaran utama PKI adalah para kyai dan dan para mubaligh bisa jadi merupakan buntut dari pergesekan orang-orang PKI (abangan) dengan golongan santri yang sudah terbangun sejak lama. Sedangkan sasaran yang ditujukan kepada orang-orang PNI bisa jadi dikarenakan mereka adalah partainya pemerintah.  Beruntung pemberontakan ini berhasil dipadamkan oleh militer pemerintah dan para pasukan Hizbullah. Perlawanan yang dilakukan oleh para pasukan Hizbullah terhadap para anggota PKI menurut mereka merupakan sebuah seruan Jihad.
Warisan dari pemberontakan PKI Madiun 1948 ini adalah terbangunnya antipati golongan santri-abangan yang pada waktu selanjutnya makin dipertegas dan dipupuk oleh persaingan partai politik. Dalam persaingan politik pada tahun-tahun selanjutnya, partai-partai yang terinspirasi oleh Islam dan mempresentasikan kostituensi dari para santri tampil berhadap-hadapan dengan PKI dan konstituensi abangannya. Warisan lainnya adalah bahwa angkatan darat juga kini sepenuhnya memandang PKI sebagai musuh karena PKI dianggap berusaha untuk menusuk Revolusi dari belakang ketika keadaan tengah genting-gentingnya oleh upaya Belanda untuk kembali ke Indonesia (Ricklefs, 2013:147).
Periode revolusi berakhir ditandai dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia oleh Belanda pada desember tahun 1949. Pada masa-masa selanjutnya persaingan antara kaum abangan dan santri terwujud dalam perpolitikan yang semakin memanas. Menurut McVey (1983) pada periode parlementer (1950-1959) ini ditandai dengan semakin berkembangnya identifikasi komunal sebagai landasan politik. Posisi abangan direpresentasikan terutama oleh PNI, yang mencerminkan nilai-nilai priyayi bangsawan dari kaum abangan elite yang konservatif, sementara daya tarik PKI yang komunis sebagai partainya masyarakat kelas bawah terus menggerus basis petani dan buruh PNI. Kaum santri terbelah antara Masyumi, yang modernis dan NU (sudah menjadi partai sendiri) yang merepresentasikan masyarakat santri pedesaan Jawa yang saleh. Diantara kaum abangan Jawa, kemandekan politis dan kemiskinan ekonomis mengakibatkan semakin tumbuh dan berkembangnya paham komunis.
Persaingan politik diantara kaum abangan (PKI) dan kaum santri (NU dan Masyumi) menjadi semakin memanas menjelas pemilihan umum tahun 1955. Pada masa kampanye berbagai rumor dan fitnah yang tak bertanggung jawab merebak dimana-mana. Ketakutan dari kaum abangan dan santri dimanipulasi baik di pedesaan maupun di kota-kota kecil. Kaum abangan  khawatir bahwa bila NU dan Masyumi yang menang akan membuat mereka ditindas, sementara di pihak santri beredar rumor bahwa kemenangan PKI berarti pembunuhan kepada para Kyai. NU mencoba meyakinkan kalangan siwi sekolah bahwa kampanye 1955 adalah perjuangan hidup atau mati. Bahkan salah seorang diantara mereka diberitahu, demikian kenangnya “jika engkau tidak membantu NU agar menang, PKI akan menang, dan engkau akan di bacok sampai mati” (Ricklefs, 2013:170).
NU menggunakan khotbah Jum’at untuk propaganda politik, sedangkan PKI memanfaatkan kesenian-kesenian rakyat demi tujuan yang sama. Slogan-slogan dan platform-platform dari semua partai yang mengikuti pemilu selalu didengung-dengungkan setiap saat. NU mempropagandakan bahwa setiap suara yang diberikan kepada partai serupa dengan selangkah lebih dekat ke surga, dan itu seperti pergi ke medan Perang Jihad. Dalam khotbah salat Jum’at, beberapa Kyai mengatakan kepada umat yang hadir bahwa hukumnya wajib bagi kaum Muslim untuk memilih NU (Frealy, 2008:143-145). Di desa-desa, PKI dan front petaninya, BTI, menekankan bahwa PKI akan membagi-bagikan tanah kepada mereka yang tidak memiliki tanah dan bahkan tak jarang menjanjikan bidang tanah kepada mereka yang bersedia memilih PKI. PKI mengatakan bahwa PNI adalah partainya kaum priyayi elite, Masyumi dan NU adalah partainya kaum santri, dan PKI adalah partainya rakyat. PKI itu sendiri berusaha untuk menghindari kesan sebagai partai yang sepenuhnya anti agama sembari memposisikan dirinya sebagai partai kaum abangan (dengan “agama Jawa”nya), sedangkan kaum santri tak henti-hentinya menekankan aspek ateistik dari komunisme (Feith dalam Ricklefs, 2013:176).
Hasil pemilu tahun 1955 menunjukkan bahwa terdapat empat besar partai yang menduduki posisi teratas pemilihan umum di Jawa Timur yaitu (1) NU sebanyak 37%, (2) PNI sebanyak 25%, (3) PKI sebanyak 25%, dan (4) Masyumi sebanyak 13%. Di Jawa Tengah (1) PNI sebanyak 38%, (2) PKI sebanyak 29%, (3) NU sebanyak 22%, dan (4) Masyumi sebanyak 11%. Pada pemilu tahun 1957 tidak begitu terdapat perubahan yang signifikan dari keempat partai tersebut dalam hal jumlah suara. Di Jawa Timur (1) NU sebanyak 35%, (2) PKI sebanyak 32%, (3) PNI sebanyak 22%, dan (4) Masyumi sebanyak 11%. Di Jawa Tengah (1) PKI sebanyak 37 %, (2) PNI sebanyak 30 %, (3) NU sebanyak 23%, dan (4) Masyumi sebanyak 10% (Ricklefs, 2013:181-182). Berdasarkan data ini, dapat kita ambil informasi bahwa di Jawa Tengah lebih banyak golongan abangan dibanding gologan santri, sedangkan di Jawa Timur lebih banyak golongan santri dibandingkan dengan golongan abangan. Informasi lain yang tidak kalah pentingnya adalah PKI menjadi partai yang mendapatkan peningkatan suara yang cukup banyak baik di Jawa Timur maupun di Jawa Tengah. Menunjukkan bahwa PKI pada masa itu menjadi sebuah partai populer, yang mampu menyaingi ketiga partai lainnya meskipun terdapat sejarah kelam yang telah ditorehkan partai ini.
Pada periode selanjutnya, saat Soekarno menjabat sebagai presiden setelah dikeluarkannya dekrit tahun 1959 kepopuleran PKI semakin melambung tinggi. Dari yang awalnya hanya beranggotakan 50.000 orang saja, dengan sekejap melambung tinggi hingga mencapai 1,5 juta pengikut, sebuah pencapaian yang luar biasa jika melihat track record partai ini yang kerap erat dengan kekerasan. PKI mengubah posisi ideologisnya dengan mendukung Soekarno dan ideologi yang diperkenalkannya. PKI mencoba untuk mencari perlinfungan dari lawan-lawan politiknya yang mesti dihadapinya dan meyakini bahwa Soekarno merepresentasikan harapan terbaik mereaka untuk meraih kekuasaan. Pada awal dasawarsa 1960-an nyaris tidak ada perbedaan yang tampak nyata antara ideologi komunis dan ideologi soekarnoisme. Sementara itu, NU mencoba bertahan dengan kekuatannya sendiri di tengah realitas politik yang kacau dengan cara tetap menerima otoritas politik yang ada sembari tetap mencari aman serta mengindari bahaya.
Keputusan Soekarno merangkul kaum komunis hingga menaruh mereka di jajaran pemerintahan merupakan sebuah pilihan yang dianggap sebagai blunder oleh sebagian orang. Banyak orang yang akhirnya menganggap bahwa Soekarno adalah seorang komunis, padahal tidak. Soekarno dalam bukunya Dibawah Bendera Revolusi menjelaskan panjang lebar tentang alasan mengapa dia merangkul komunis juga. Intinya adalah hanya untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia. Dia tidak mau terjadi perang saudara yang akhirnya bisa membuat keuntungan bagi NEKOLIM untuk masuk kembali ke Indonesia. Namun tetap saja, keputusan itu menjadi blunder dan dijadikan oleh para musuhnya sebagai senjata untuk melengserkan dia dari kursi Presiden Republik Indonesia.
Tahun 1963-1964 terjadi kekacauan sosial di berbagai daerah di Jawa. PKI melancarkan aksi sepihak pengambilan paksa tanah-tanah yang berkelebihan yang kebanyakan dimiliki oleh para haji dan kyai kaya di Jawa. Aksi ini dilakukan oleh PKI sebagai bentuk protes kepada pemerintah karena UU reformasi pertanahan yang sudah disahkan tahun 1959-1960 masih belum juga diimplementasikan. Aksi sepihak PKI ini justru memberi keuntungan bagi  institusi-institusi Islam, sebab banyak para Kyai tuan tanah itu lebih memilih untuk memberikan tanahnya kepada pesantren, masjid, langgar atau lembaga-lembaga lain sebagai tanah wakaf  dari pada harus jatuh ke tangan musuh mereka, komunis. Akibatnya banyak terjadi penyerangan atas rumah, pesantren, perusakan ladang , serta pembunuhan terhadap lawan di berbagai tempat di Jawa.
Akhirnya puncak konflik diantara keduanya adalah setelah terjadinya peristiwa G30S (saya tidak akan menjelaskan bagaimana alur peristiwa G30S, silahkan baca sendiri di berbagai sumber terbaru misal, buku John Rossa dg judul Dalih Pembunuhan Masal. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang konon katanya adalah kudeta yang akan dilakukan oleh PKI dan kawan-kawannya. Mereka membunuh para Jenderal Angkatan Darat yang disponsori oleh Amerika yang diyakini akan melakukan kudeta kepada Soekarno. Upaya kudeta ini berhasil digagalkan oleh Soeharto yang pada waktu itu menjabat sebagai panglima Kostrad. Soeharto dengan cerdas mulai mengambil alih pimpinan militer dan mulai melakukan berbagai tindakan bagi penggantian Soekarno sebagai presiden yang bisa disebut dengan Coup d’etat.
PKI menjadi pihak yang dipersalahkan dalam peristiwa itu oleh pihak militer dan lawan-lawan politiknya dari pihak santri. Di Jakarta dan kota-kota lain, para aktivis pemuda dari beragam latar belakang dengan dukungan militer membentuk kelompok-kelompok untuk menyerang anggota PKI dan harta benda mereka. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur kekerasan sosial juga merebak dengan skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Peran militer di kedua wilayah ini berbeda dengan tempat lainnya. Kepelikan muncul karena Kodam Diponegoro dan Kodam Siliwangi merupakan dua divisi militer yang berhasil diinfiltrasi oleh PKI. Beberapa elemen dari mereka secara tegas berpihak kepada mereka yang melakukan kudeta di Jakarta. Oleh karena itu, penggerak utama dari pasukan pemburu dan pembunuh PKI di wilayah paling terpencil bukanlah dari kalangan militer, melainkan Ansor dan para kyai di pedesaanlah yang memobilsasi murid-murid pesantren mereka dengan cara yang serupa pada tahun 1948 setelah pemberontakan PKI Madiun. Kebanyakan militer dan para kaum santri menggunakan memori kelam tahun 1948 sebagai motor penggerak pemusnahan massal orang-orang PKI. Rumor dan pamflet berisi tuduhan dan prasangka-prasangka ditemukan di mana-mana. Dipercayai bahwa sebenarnya PKI telah menyiapkan peralatan untuk mencungkil mata musuh-musuh mereka dan memasukkan mayat-mayat para kyai yang sudah mereka bunuh ke dalam sumur (Sulistyo, 2000:175).
Upaya pembersihan ini berlangsung mudah. Tidak banyak aktifis PKI yang mencoba melawan nasib yang menimpa mereka. Pihak yang dulunya telah mengambil langkah ofensif dengan melancarkan kampanye aksi sepihak kini tampak begitu saja menerima kenyataan bahwa mereka kalah dan kematian telah menanti mereka. Hanya sedikit tokoh atau pengikut PKI yang berhasil kabur, sebab di daerah pedesaan di Jawa pada waktu itu nyaris tidak mungkin pindah ke suatu tempat wilayah baru tanpa diketahui orang lain. Dalam satu dari sedikit kasus perlawanan PKI, kaum komunis berusaha mempertahankan diri mereka dengan pentung dan panah. Contoh saja di Kediri, banyak korban dipenggal kepalanya di tepian sungai Brantas dan mayat-mayat mereka dibuang begitu saja ke airnya. Meskipun ada beberapa korban dari anggota Banser yang terbunuh dalam bentrokan tahun itu, namun tidak ada keraguan korban terbanyak adalah dari pihak abangan yang beralisansi dengan PKI (Sulistyo, 2000:181).
Begitulah akar konflik yang terjadi antara PKI dan orang-orang Islam. Jadi pada intinya konflik besar ini hanya berawal dari pergesekan sosial, meningkat menjadi kecemburuan sosial, dan diperparah oleh adanya kepentingan-kepentingan politik. Sebab memang politik selalu menggunakan sentimen-sentimen kejelekan lawannya untuk memenangkan pertarungan politik. Tidak dapat dipungkiri bahwa politik lah yang menjadi kunci membesarnya konflik diantara keduanya. Bahkan sekarangpun, perpolitikan di Indonesia mencoba menggunakan sentimen-sentimen lama tentang konflik kedua kubu ini yang sebenarnya sudah berakhir pada pertengahan dasawarsa 1960an. Jelas bagi orang yang mengetahui sejarah konflik diantara kedua kubu, pasti sadar bahwa isu-isu tentang PKI yang mulai dibangkitkan lagi akhir-akhir ini hanyalah alat politik untuk memperoleh sebuah kekuasaan saja. Seperti kata Franz Magniz Suseno dalam wawancaranya, dia mengatakan bahwa “komunisme tidak akan bangkit lagi, sebab komunisme merupakan paham yang telah usang. Kita bisa lihat di Rusia ambruk, Tiongkok membebaskan diri. Hanya tinggal Korea Utara, dan tak ada negara yang mau menjadi seperti Korea Utara”. Jadi marilah kita belajar untuk peka terhadap isu-isu tentang sejarah. Sebab memang tak dapat dipungkiri bahwa memori-memori lama sejarah bangsa ini kerap kali dijadikan sebagai senjata politik, dan itu sudah biasa.



DAFTAR RUJUKAN
Benda, H. J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Bandung: Dunia Pustaka Jaya.
Frealy, Greg, and Sally. 2008. Islam and Ideology in The Emerging Indonesian State. Singapore: ISEAS.
Gertz, Clifford. 2014. Agama Jawa: Abangan , Santri, Priyayi. Depok: Komunitas Bambu.
Kuntowijoyo. 1997. Sejarah Perjuangan Hizbullah Sabilillah Divisi Sunan Bonang. Surakarta: Yayasan Bhakti Utama.
Kurasawa. 1993. Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945. Depok: Komunitas Bambu.
Ricklefs, M. C. 2013. Mengislamkan Jawa. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Ricklefs, M. C. 2007. The Polarising Javanese Society: Islamic and other visions. Singapore: Singapore University.
Sulistyo, Hermawan. 2000. Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembanyaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966). Yogyakarta: Yayasan Adikarya IKAPI.
Suseno, Frans Magniz. 1999. Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Zuhri, Saifudin. 2013. Berangkat dari Pesantren. Yogyakarta: LkiS.




Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat. Jika ingin filenya, langsung hubungi saya di email: ariefmuhammadramdhani@gmail.com. Saya kasih gratis.
Wassalamualaikum. VIVA HISTORICA!!!!


Kamis, 22 Juni 2017

MAKNA DAN TUJUAN SEJARAH



MAKNA DAN TUJUAN SEJARAH
(The Meaning and Goal of History)

            Sejarah merupakan ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau tentang kehidupan manusia. Secara garis besar, sejarah itu dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu pertama adalah proses sejarah yang berarti aktualisasi dari peristiwa yang benar terjadi di masa lampau. Kedua adalah penulisan sejarah (Historiografi) yang berarti adalah kisah yang dituliskan berdasar peristiwa itu.
            Peristiwa sejarah merupakan sebuah proses. Proses berjalannya kehidupan manusia pada saat itu. Proses bisa juga diartikan sebagai usaha. Di dalam sebuah proses atau usaha, terdapat sebuah kebermaknaan. Usaha dapat dikatakan ber”makna” apabila proses atau usaha itu dapat mencapai sebuah tujuan yang memang sudah dicita-citakan. Contoh kongkrit misalnya, saya sedang berusaha untuk pergi ke restoran, makna dari saya pergi ke restoran adalah agar saya dapat melaksanakan tujuan saya, yaitu membeli makanan. Makna dan tujuan adalah dua hal yang berbeda, namun keduanya saling terikat satu sama lain.
Secara harfiah “makna” mempunyai arti maksud pembicaraan dan tujuan mempunyai arti sesuatu yang dituju. Berbicara mengenai makna dan tujuan sejarah, bahasan semacam ini akan cukup membingungkan, tetapi jika dipahami dengan pelan pelan dan hati hati, bahasan tentang makna dan tujuan sejarah ini akan bisa dipahami dan menjadikan kita lebih menghargai setiap proses sejarah itu.
            Mengenai makna proses sejarah, terdapat empat tafsiran mengenai “makna” itu sendiri yaitu:
1)      Pertama, sebagai sebuah pertanyaan mengenai tujuan terakhir, yang dilaksanakan dalam perjalanan proses sejarah. 
2)      Kedua, sebagai pertanyaan mengenai arti proses sejarah. 
3)      Ketiga, sebagai pertanyaan mengenai tujuan dan gunanya pengkajian sejarah. 
4)   Keempat, sebagai pertanyaan mengenai arti pengkajian sejarah (pertanyaan mengenai arti semua telaah sejarah mengenai masa silam)
Tafsiran-tafsiran di atas intinya adalah pertanyaan apa sebenarnya “makna” dari sejarah dan pengkajian sejaran itu sendiri. Untuk menjawab apa “makna” dari proses sejarah dan pengkajian sejarah, tentunya kita harus tau terlebih dahulu mengenai tujuan dari proses sejarah dan pengkajian sejarah itu. Sebuah proses sejarah akan bermakna jika, proses sejarah itu telah berhasil mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh pelaku-pelaku sejarah itu sendiri. Untuk lebih menjelaskan mengenai makna dan tujuan proses sejarah, saya akan memberikan contoh berdasarkan filsafat sejarah dari para ahli.
            Salah satu tokoh filsafat spekulatif yang cukup terkenal dan bahkan pemikirannya sampai sekarang masih dijadikan sebagai ideologi oleh beberapa negara adalah Karl Marx. Dalam sejarah spekulatif yang dikemukakan oleh Karl Marx, dia menyatakan bahwa gerak sejarah umat manusia ini bersifat progresive atau menuju ke arah kemajuan. Motor penggerak dari sejarah itu sendiri menurut Marx adalah materi, yang dimaksud materi oleh Marx adalah semua benda benda produksi atau kerja sosial yang dilakukan oleh manusia. Material lah yang membuat manusia bergerak dan melakukan kegiatan di muka bumi ini.
            Material itulah yang membuat sebuah proses sejarah manusia berjalan. Marx membagi proses sejarah umat manusia menjadi beberapa bagian yaitu:
1)      Masyarakat Asiatik (absence of private land property, unchanging, need exogen factor breaking up isolation)
2)      Masyarakat Kuno (families forming tribal units, communal property ownerships)
3)      Masyarakat Feodal (wind mill and land accumulation by landlords)
4)      Masyarakat Borjuis/kapitalis (steam engine)
5)      Masyarakat Sosialis
Pergantian fase adalah hasil perubahan teknologis (instrumen produksi). Sejarah Berakhir dengan terbentuknya masyarakat sosialis tanpa kelas. Jadi tujuan proses sejarah menurut Marx adalah Masyarakat Sosialis Tanpa Kelas.
            Pertanyaannya adalah apakah proses pergantian masyarakat itu adalah sesuatu yang mempunyai makna? Untuk menjawabnya tentu kita harus melihat tujuan dari proses itu sendiri dulu. Tujuan proses sejarah menurut Marx adalah Masyarakat Sosialis Tanpa Kelas. Kita melihat pada waktu ini masyarakat tanpa kelas sudah tercapai di beberapa negara sosialis Komunis, meskipun tidak sepenuhnya seperti yang Marx cita-citakan, namun anggap saja tujuan dari proses sejarah menurut Marx sudah tercapai. Jika tujuan itu sudah tercapai maka barulah kita bisa memberikan makna bahwa proses menuju masyarakat sosialis tanpa kelas itu adalah sebuah perjuangan berat yang dikatakan berhasil. Namun yang menjadi pertanyaan lagi adalah, jika masyarakat sosialis tanpa kelas itu merupakan tujuan akhir dari proses sejarah, seharusnya proses sejarah itu sudah tidak berjalan lagi atau berhenti, namun mengapa sampai saat ini negara-negara yang sudah berpaham sosialis komunis tanpa kelas masih berproses menuju sebuah tujuan baru yang lebih baik? Apakah benar proses sejarah itu mempunyai tujuan akhir? Jika proses sejarah itu tidak mempunyai tujuan akhir, bukankah berarti proses sejarah itu sendiri secara intrinsik tidak mempunyai makna sama sekali. Sebuah hal yang mungkin membingungkan.
            Mari kita coba lihat contoh filsafat sejarah lain yang mempunyai tujuan akhir yang cukup abstrak. Salah satu filsuf sejarah abad pertengahan yang cukup terkenal dengan aliran religiusnya adalah Santo Agustinus. Menurut Agustinus, terdapat 6 periode utama dalam sejarah yaitu:
1)      Periode dari Adam hingga Nuh
2)      Periode dari Nuh hingga Abraham
3)      Periode dari Abraham hingga David
4)      Periode dari David hingga Pembuangan
5)      Periode dari Pembuangan hingga Kelahiran Kristus
6)      Periode dari Kelahiran Kristus hingga Pengadilan terakhir (Kiamat).
Menurutnya, sejarah akan berakhir pada masa istirahat dalam abadi bersama Tuhan / ALLAH. Santo Agustinus menyebutkan bahwa dunia ini terbagi menjadi dua yaitu Kota Tuhan dan Kota Manusia. Kota Tuhan dibentuk oleh Cinta Tuhan, Kota Manusia dibentuk oleh Cinta diri. Kedua kota ada bersama-sama (koeksistensi) sepanjang sejarah manusia. Kapan berakhir? Pada hari kebangkitan dan pengadilan terakhir. Kedua kota akan dipisahkan dengan dua takdir berbeda: Surga (heaven) atau Neraka (hell).
            Proses sejarah menurut Agustinus adalah kehidupan untuk mencari ridho Tuhan. Apakah kehidupan itu bermakna? Kehidupan manusia dikatakan bermakna jika manusia mampu mencapai tujuan akhir yaitu “Kota Tuhan” dimana terdapat cinta Tuhan disana. Tetapi yang menjadi masalah dalam filsafat sejarah Agustinus ini adalah tujuan akhir manusia itu bersifat abstrak. Sehingga pada kenyataannya, kita tidak dapat memberikan makna kepada proses belangsungnya kehidupan manusia di dunia, apakah sudah bermakna atau belum, karena manusia tidak pernah tau kemanakah manusia akan menuju kelak, ke Surga atau Neraka.
            Berdasarkan pembahasan di atas, sungguh sangat membingungkan memahami makna dan tujuan sejarah. Sebagian kalangan mengkritik gagasan tentang sejarah yang memiliki tujuan akhir. Dengan mengandaikan proses sejarah hanyalah sebuah jalan menuju tujuan akhir sejarah, berarti proses sejarah sendiri hanya mengabdikan dirinya kepada masa depan, kepada tujuan akhir. Namun sebagian lain sedikit terhibur dengan gagasan itu, bahwa kehidupan mereka tidak sia-sia, melainkan sebuah sumbangan untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Kebanyakan masih merasa tidak puas, karena menganggap bahwa kehidupan sekarang hanyalah jembatan bagi kehidupan anak cucu kita di masa depan. Lantas apa yang diberikan anak cucu kita di masa depan nanti? Apakah usaha dan penderitaan manusia di saat ini benar-benar sebuah sumbangan untuk kehidupan yang lebih baik kelak? sebuah yang bermakna? Atau hanya kesia-siaan belaka?. Pertanyaan-pertanyaan hanya bisa dijawab oleh anak cucu kita di masa depan, sebagaimana kita bisa menjawab kebermaknaan usaha para pendulu kita.
Jadi pada dasarnya, makna sejarah terletak kepada “masa kini”. Proses Sejarah itu tidak akan bermakna jika bukan kita sendirilah yang memaknainya. Menurut Kant and Popper, Manusia harus memberikan makna kepada sejarah, karena baru demikian perbuatan/kejadian dapat disusun secara kait-mengait, dan dapat diarahkan ke hari depan. Dengan memberikan makna kepada proses sejarah, maka kita juga akan mengetahui apakah usaha-usaha yang dilakukan para pendahulu kita itu adalah sebuah sumbangan terhadapa masa kini ataukah hanya kesia-siaan belaka, semuanya tergantung kepada si pemberi makna itu sendiri.
Pemberian makna terhadap proses sejarah ini sendiri juga berguna terhadap kehidupan masa kini sebagai sebuah kearifan. Seperti yang dikatakan oleh pepatah lama, “Historia Magistra Vitae” yang artinya adalah sejarah bertindak sebagai  guru terbaik dalam hidup. Dalam proses sejarah terdapat makna-makna yang dapat kita berikan dan kita ambil pelajaran dari makna-makna itu. sebagai orang Islam, kita juga telah dianjurkan untuk mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa sejarah, sebagaimana Firman Allah dalam QS. Yusuf: 111, “sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’am itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”.

SEMOGA BERMANFAAT
^_^